Seorang pejabat muda suatu daerah yang sedang asyik menonton pagelaran wayang kulit, bertanya pada seorang pemerhati budaya.
Pejabat muda   : Bapak yakin kisah-kisah dalam wayang kulit ini suatu kenyataan?
Budayawan     : Setidaknya menggambarkan kehidupan manusia seperti itu...
Pejabat muda   : Misalnya siapa?
Budayawan     : Rama yang kehilangan istrinya, Dewi Shinta. Tak mau mencari sendiri justru mengandalkan Anoman dan wadyabalanya. Tapi setelah Shinta diselamatkan justru meragukan kesucian Dewi Shinta. Bukankah itu tanda egoisnya pria.
Pejabat muda   : Tentang kesaktian para tokohnya apa memang seperti itu?
Budayawan     : Hlaaa... tadi Sengkuni dibanting-banting sampai dedel duwel lalu mati jiwanya  masuk pada banyak tokoh yang ingin berkuasa.
Pejabat muda   : Artinya Sengkuni tidak sakti mandraguna...
Budayawan     : Karena Sengkuni hanya mengejar duniawi. Tidak masalah karena memang kita hidup di dunia. Tapi caranya yang salah. Tujuan tidak membenarkan cara.
Pejabat muda   : Gatotkaca yang sakti mandraguna otot kawat balung wesi (tulang besi) pada akhirnya juga mati.
Budayawan     : Semua makhluk hidup akan meninggalkan dunia dan segala yang dimilikinya dan yang pernah melekat pada dirinya. Jabatan dan kekuasaan. Namun suatu saat akan diambil dari peti lalu dihidupkan lagi oleh Ki Dalang dalam lakon lain. Dikeplek-keplekkan lagi dan disoraki semua orang yang menonton.
Pejabat muda ini hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ia teringat akan pernyataan salah seorang seniman ketika ia baru datang untuk memberi sambutan pada pagelaran wayang kulit ini.
Sambil berjabat tangan seniman tadi berkata lirih: "Semoga dalam sambutan nanti ada pemenuhan janji memberi seperangkat gamelan..."
Sebuah pernyataan yang tak bisa dipenuhi dan membuat dirinya terbungkam di atas panggung selain hanya berkata: "Semoga sukses..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H