Irama gamelan mengalun syahdu mengiring dua penari yang lembut bak bidadari yang baru saja mandi telaga untuk kembali ke nirwana.
Tak peduli hanya para penabuh dan sesepuh desa yang menonton mereka terus menari di lembah sunyi di kaki Semeru.
Tanpa tepuk tangan selain senyum gembira dari para wiyaga mereka bersyukur pada Sang Hyang Sri Widayaningrat yang telah memberi tirta amerta pada semua titah.
Dupa mengalunkan aroma wangi di separuh perjalanan purnamasidhi di kaki Candi Jago teriring mantra doa sang pujangga.
Dua penari lembut berkisah manusia berduka karena dosa dan petaka.
Syahdu sang pesinden melantunkan tembang macapat dandanggula mengiring penari di pelataran sepi.
Sang Candra terpaku sedih di balik awan kelam. Sang kartika pun mengikut jejak rembulan yang mengintip penuh duka.
Di panggung sepi dua penari berbagi kisah kasih Asmara Bangun dan Candra Kirana dalam tari Karonsih.
Seratus tatap mata dan senyum bahagia teriring doa ayah bunda mengantar dua sejoli membangun keluarga.
Gamelan syahdu melantun mendayu memaku hati dua manusia yang terpatri asmaradahana.
Di panggung temaram dua penari menghentak seribu pasang mata yang terpesona kisah indahnya negeri yang kini berduka.
Kisah amarah Calon Arang menyebar pageblug karena dengki.
Sejuta tepuk tangan menggema kala dua penari purna bercerita.
Seribu kisah dua penari di antara lembah dan panggung dunia. Di antara kelamnya lembah dan temaramnya sorot mata penuh tanya.
Mengapa dunia sering berduka. Tak adakah kisah indah yang membahana?
Catatan:
Purnamasidhi : bulan purnama.
Sang Hyang Sri Widayaningrat: ibu bumi, Ibu Pertiwi
Tirta Amerta: air suci.
Titah: makhluk hidup.
Candra: rembulan.
Kartika: bintang.
Pagebluk: pandemi.
Asmaradahana: tembang api asmara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H