Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbah Darmo Naik Haji

20 Juli 2021   08:57 Diperbarui: 20 Juli 2021   15:17 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami memanggilnya Mbah Darmo, lelaki tua yang hidup bersama cucu satu-satunya teman kami sekolah dan sekampung. Pekerjaan beliau hanyalah mengolah ladangnya yang tak terlalu luas dan hanya berupa perengan (tanah tebing) di tepi Kali Brantas. 

Ladangnya yang tak terlalu subur hanya ditanami buah-buahan seperti nangka, sukun, rukem, dan duwet serta beberapa tanaman singkong dan kacang panjang yang tak terlalu subur karena tertutup rerimbunan. 

Juga ada tebu wulung (tebu hitam keunguan) dan kelapa hijau. Sekali pun demikian tanaman-tanaman itu menjadi handalan makan sehari-hari Mbah Darmo dan Paidi, cucu satu-satunya. 

Sedang untuk kebutuhan beras, Mbah Darmo membeli dari hasil keringatnya mencari rumput untuk pakan ternak tetangganya, membantu membersihkan rerumputan sawah, atau menyabit kala panen tiba.

Ladang dan rumahnya yang ada di tepi sungai memang begitu sejuk sehingga membuat kami sering bermain ke rumah Mbah Darmo sambil mencari  duwet dan rukem, lalu mandi dan bermain di kedhung (lubuk sungai). 

Jika terasa lapar Mbah Darmo mencabutkan sebatang singkong untuk dibakar bersama-sama. Kami sungguh gembira. Walau kami kadang disetrap (dihukum dengan berdiri di depan kelas) bu guru karena sering lupa mengerjakan  peer atau mbolos hanya karena ingin bermain di sungai.

Suasana seperti ini berlangsung saat kami masih kelas 4 SD hingga 3 SMP. Saat menginjak usia SMA kami mulai jarang bermain bersama karena saya harus melanjutkan sekolah, Paidi harus bekerja sebagai buruh tani karena Mbah Darmo semakin renta dan tak kuat lagi bekerja. 

Sedang tiga teman kami lainnya harus bekerja pula sebagai buruh karena tiada beaya untuk melanjutkan sekolah. Namun setiap sore kadang masih bercengkerama bersama di pos ronda dekat rumah Mbah Darmo.

0 0 0

Suatu minggu pagi di awal musim kemarau yang dingin mbediding, saat kami sedang omong kosong sambil caring di depan gubuk terlihat Mbah Darmo dan Paidi menuntun empat ekor kambingnya.

"Mau kemana Mbah?" tanyaku iseng walau sebenarnya tahu kalau kambingnya mau dijual ke pasar hewan.

Mbah Darmo yang biasanya pendiam menjawab bahasa Jawa dengan tersenyum,"Arep ngulon..." Dalam bahasa Indonesia artinya akan ke barat. Maknanya akan pergi haji.

Mendengar jawaban itu, Solikin yang sedikit nakal menjawab sekenanya,"Walaaaah Paidi kok tega, kecil dibesarkan sekarang mengantar kakeknya naik haji kok naik kambing."

Mendengar ucapan Solikin, kami hanya tersenyum. Demikian juga Paidi tersenyum sambil menuntun tiga kambingnya di belakang Mbah Darmo yang menuntun seekor kambing.

0 0 0

Seperti biasa pada hari raya ketupat, kami berlima Paidi, Solikin, Rupadi, Rukmini satu-satunya teman wanita yang sangat petrak (tomboy), dan saya selalu berkumpul dan makan bersama bersama di rumah Mbah Darmo. 

Sungguh sangat mengejutkan saat itu Paidi yang duduk di samping Mbah Darmo meminta kami mengantar Mbah Darmo ke Tanjung Priok, Jakarta yang akan menunaikan ibadah haji dengan naik kapal laut. 

Tentu saja kami terkejut namun tentu saja gembira sekali. Tak disangka, Mbah Darmo yang hanya buruh tani tanpa sanak saudara selain cucu satu-satunya kini bisa pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.

0 0 0

Lima puluh tahun berlalu desa kutinggalkan untuk merantau sebagai seorang guru. Tiga hari yang lalu menjelang Idul Adha, saya mengunjungi Paidi yang tetap tinggal di desa membentuk keluarga bahagia bersama Rukmini. 

Tak banyak perubahan dari kehidupan mereka. Tetap sederhana seperti yang diteladankan oleh Mbah Darmo. Namun senyum selalu terkembang. Senyum bahagia yang seperti kami rasakan ketika kami bermain bersama. Tak ada kesedihan.

Sederhana
Sederhana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun