Kurebahkan diri ini di hamparan hijaunya ilalang yang membentang di bawah mendung yang menggelayut seakan hendak menumpahkan tetesan air mata sejuta bidadari karena kesedihan menunggu pujaan hati yang tak kunjung datang.
Kubiarkan perihnya punggung karena tusukan tunas-tunas ilalang yang menerobos juntaian pakaian kumuh berbau keringat dan embun sisa hujan yang masih enggan pergi dari ujung-ujung dedaunan.
Aku hanya tersenyum sendiri seperti penderita szicophrenia kala kuberkata lirih menangislah hingga maut menjemputku dan mengantarku ke taman Sriwedari tempat engkau mandi dan bercengkerama di sungai nirwana.
Slaaaaap.....
Kilat menyambar menyinari indahnya kaldera tempatku merenung namun pandangan mataku menjadi gelap. Lalu kudengarkan bisikan membangunkan diriku.
Kubuka mata dan kulihat taman indah membentang di depan.
Sepi...
Di kejauhan sana terdengar derit suara tali perigi yang ditarik seorang tua yang sedang menimba air kehidupan. Aku pun berlari kencang. Pulang
"Basuhlah wajahmu yang lesu," kata wanita tua dengan seembar air penuh cinta.Â
Kusiramkan seember air di wajahku yang membuatku segar kembali.
"Tersenyumlah, bidadarimu menunggu di dapur menyajikan sambel tomat dan sepiring nasi jagung," lanjutnya.