Namanya singkat dan sederhana seperti penampilannya, Sanuri. Pekerjaannya serabutan, kadang menjadi kuli bangunan dan buruh, tetapi lebih sering keliling desa dan kampung sebagai tukang servis atau penjait sandal sepatu yang rusak. Sehari rerata mendapat penghasilan sekitar 10.000- 15.000 Â per hari. Sebuah penghasilan yang sangat minim pada masa seperti ini sekali pun tinggal di desa.
Sanuri yang sederhana ini juga unik karena sebagai fans berat Slank, ternyata juga memiliki suara seperti Kaka personil dan vokalis grup band Slank, sehingga ia sering didapuk menyanyikan lagu-lagu Slank oleh musisi-musisi grup band atau kelompok musik indie lokal di Malang saat ada tanggapan di kafe-kafe. Sekali tanggap ia mendapat sekitar 100.000 rupiah per malam. Itu pun hanya pada hari-hari tertentu atau paling banyak sekitar 2 kali seminggu.
Di masa pandemi Covid-19 hampir seluruh sektor perekonomian lemah, Sanuri juga mengalaminya. Dapur harus mengepul untuk mengisi perut keluarganya. Tak ada pilihan, dia harus menggarap kebunnya di sebuah lembah atau jurang (Jawa: perengan) di pinggir Kali Amprong, Desa Banjarejo Malang. Ia pun membangun sebuah gubug tempat istirahat kala ingin melepaskan penat setelah berkebun. Lahan yang hanya seluas seperempat hektar ternyata hanya cocok untuk tanaman ubi atau singkong dan jenis talas-talasan serta pisang yang hasilnya tak seberapa.
Sanuri sekalipun orang desa yang hanya berpendidikan setingkat SMA, tetapi bukanlah seorang pemuda yang mudah putus asa karena keadaan. Tak mau kalah oleh perputaran jaman yang terus bergerak, Sanuri pun terus berpikir keras bagaimana mengolah lahannya yang sempit tetapi dapat menghasilkan pendapatan untuk menghidupi keluarganya.
Jalan setapak yang penuh tanaman bunga selesai lalu dibangunlah sebuah gapura sederhana sebagai ucapan selamat datang bagi pengunjung. Sanuri pun mengenalkan tempat istirahatnya ini sebagai taman kepada rekan-rekan musisi dan kepada para pengunjung kafe. Gaung bersambut banyak yang tertarik, sedikit demi sedikit dalam waktu enam bulan taman ini mulai dikenal oleh teman-temannya.Â
Ide muncul lagi untuk memberi nama taman ini sebagai tempat rekreasi sederhana dan harus diberi nama yang tepat dan unik serta mudah diingat. Didampingi istrinya yang setia saat duduk-duduk di pinggir Kali Amprong sambil mencari ide yang tepat untuk mengembangkan tamannya, tetiba tercium bau sangit kopi yang sedang diolah di dapur atau pawon dalam bahasa Jawa. Bau sangit yang tajam tercium juga oleh beberapa orang sedang melakukan aktifitas di kebun sebelah dan di pinggir Kali Amprong.
"Kopi sangit...kopi sangit...dari pawon badhuk," seru beberapa orang dan anak-anak. Pawon badhuk artinya dapur sederhana. Dari seruan inilah muncul ide menarik dengan memberi nama taman ini dengan sebutan "Pawon Badhuk" Lalu nama ini ditulis dan dipasang di gerbang masuk. Semakin bertambah banyaknya rekan musisi lokal dan pengunjung kafe tempat Sanuri tampil yang berkunjung ke taman sederhana ini maka Pawon Budhuk semakin dikenal.
Sanuri yang sederhana tetap berpikir sederhana. Setiap pengunjung tidak ditarik uang masuk bahkan parkir pun gratis. Istrinya pun menyediakan atau menjual makanan sederhana seperti nasi jagung dengan sayur lodeh, urap-urap, pecel dengan lauk tempe goreng, ikan asin, dan rempeyek serta minuman kopi yang juga disebut Kopi Sangit. Para pengunjung tidak wajib membeli makanan dan minuman yang dijualnya, tetapi mereka juga tidak diperkenankan membawa makanan dari luar. Hebatnya mereka tidak menjual makanan dan minuman instan yang bungkusnya dianggap bisa membuat polusi, karena mereka masih yakin kesadaran masyarakat membuang sampah masih sangat kurang.