Tahun 1978 merupakan kiprah saya mendaki gunung. Mendekati puncak Mahameru saya kelelahan dan jatuh terjerembab mencium tanah. Saat membuka mata kulihat seekor cacing keluar ke permukaan tanah lalu merambat pelan menyusuri hutan. Saya pun memutuskan tidak melanjutkan pendakian demi keselamatan diri. Dalam hati saya pun merasa kalah dengan cacing yang telah sampai sedikit di puncak Mahameru. Cacing binatang lembek tanpa tulang yang makanannya hanya tanah dan sering diremehkan manusia ternyata lebih hebat dari manusia.
Sebagai seorang pesepeda saya kadang merasa bangga bisa bersepeda setiap hari dengan jarak sekian puluh kilometer. Banyak orang juga menganggap saya cukup hebat. Padahal kehebatan saya bahkan pesepeda lainnya belum tentu bisa menandingi keberanian dan ketrampilan anak-anak PAUD. Di velodrome Sawojajar Malang yang hanya berjarak sekitar 750 m dari rumah, setiap Selasa saya melihat anak-anak PAUD berlatih downhill dan BMX. Melihat ketrampilan dan keberanian melakukan manuver-manuver  dan jumping membuat saya hanya bisa menggelengkan kepala dan berdecak kagum.
Saya yang merasa hebat dan kuat akan mencapai puncak Mahameru yang merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa ternyata tersungkur di depan cacing. Saya kadang merasa bangga sering bergowesria sekian kilometer ternyata tak berani menandingi anak-anak PAUD.
Sering seseorang menganggap remeh atau menyepelekan orang lain hanya karena penampilan luarnya saja. Padahal di balik penampilannya yang sangat sederhana tersimpan sebuah kekuatan yang tak kita miliki.
Giri lusi janma tan kena kinira lebih berarti jangan menyepelekan atau menganggap orang lain remeh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H