Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pasukan Nasi Bungkus, Wartawan Amplop, dan Senyuman Monalisa

10 Januari 2021   15:18 Diperbarui: 10 Januari 2021   15:22 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal 80an ada istilah WTS alias wartawan tanpa surat kabar. Istilah ini muncul dari seorang tokoh pers saat itu yang menyindir adanya freelance journalist atau wartawan freelance yang kadang menulis berita yang tidak mengenakkan telinga penguasa. Payahnya, tulisan mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dan penguasa kadang menjadi luntur karena ada wartawan freelance yang mudah disuap sehingga kekritisannya kendur. 

Wartawan ini biasa disebut wartawan amplop alias wartawan yang menerima sesuap uang warna ungu dari penguasa dan pengusaha agar tidak menulis hal-hal yang kritis. Memang wartawan freelance tak selalu wartawan amplop, sekali pun wartawan freelance kadang menerima amplop tapi tetap saja kritis. Bagi mereka amplop berisi dua atau tiga lembar uang kertas berwarna ungu adalah rejeki yang tak boleh ditolak.

Sejak dua puluh tahun lalu, terutama sejak rontoknya orde baru muncul istilah Pasukan Nasi Bungkus yang merupakan sekumpulan orang yang disuap dengan beberapa sendok nasi untuk ikut demonstrasi mengkritisi dan menentang kebijakan pemerintah. Apakah istilah Pasukan Nasi Bungkus atau PNB ini juga berlaku bagi komunitas atau organisasi yang dibeayai atau setidaknya diberi dana oleh organisasi lain yang berseberangan dengan pemerintah untuk bersuara keras menentang setiap kebijakan pemerintah? Bisa juga demikian.  

Suatu hari, penulis meliput sebuah acara yang unik dan melihat ada beberapa wartawan dari media mainstream ikut meliput. Timbul sebuah pertanyaan dalam hati, dari mana wartawan media mainstream ini tahu tentang acara di tempat yang kurang dikenal oleh masyarakat luas ini. Ketika wartawan-wartawan ini penulis tanya mereka hanya menjawab dengan senyuman Monalisa. 

Rasa penasaran pun muncul lalu penulis bertanya si empunya acara dan panitia dari mana wartawan-wartawan ini tahu tentang acara ini. Jawaban mereka ternyata lucu juga. "Halah kamu kayak ga ngerti saja..."

Heemmm....saya memang mengerti jika suatu acara ingin diliput dan ditulis media massa lokal baik cetak maupun elektronik maka harus mengeluarkan dana sekian juta untuk peliputan dan pemberitaan. Jika dimuat di media cetak maka yang empunya acara  wajib membeli sekian puluh bahkan ratus eksemplar. Tapi mereka ini wartawan media mainstream nasional. Berpikiran negatif itu tidak boleh. Pikiran positif harus dikedepankan untuk hidup nyaman. 

Daripada pusing, setelah melihat dan meliput acara yang unik ini, penulis pun masuk ke sebuah pendapa untuk sekedar mengisi perut dengan menyantap hidangan yang disediakan panitia. Ternyata di situ ada juga para wartawan yang ikut makan.

Selesai makan, mereka mohon pamit dan naluri investigasi penulis tergugah dengan mengikuti mereka dan seorang panitia yang mengantar hingga halaman luar. Dari sela-sela bebungaan di halaman depan tempat acara ini, penulis melihat mereka mendapat oleh-oleh thanksgiving satu tas kresek putih berisi kotak roti yang di atasnya ada sebuah amplop putih.

Panitia yang bertugas memberikan dan mereka yang menerima sama-sama tersenyum. Saya juga tersenyum. Tapi bukan senyuman Monalisa. Entah senyuman siapa! Silahkan tebak sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun