Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapkah Wanita Bergaji Lebih Besar dari Suami?

15 Desember 2020   12:42 Diperbarui: 15 Desember 2020   13:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sama-sama bekerja. Dokpri

Sebut saja namanya Hermin seorang karyawati yang menduduki posisi menengah di sebuah bank swasta nasional. Suaminya, sebut saja namanya Herman. Pekerjaannya hanya pelatih tenes dua buah komunitas profesional yang anggotanya semua mayoritas para eksekutif. 

Entah bagaimana awalnya, Hermin tertarik dan menikah dengan Herman. Sepuluh tahun perjalanan kehidupan rumah tangga tampak biasa saja. Hingga pada suatu saat Hermin mengajukan gugatan cerai dengan alasan yang mengada-ada tanpa sebuah percecokan. 

Herman kalah di pengadilan dan cerai dengan hak asuh seorang putri cantik berusia 9 tahun. Setahun setelah perceraian, Hermin menikah dengan teman sekantor yang menduduki pimpinan cabang.

Belakangan Herman tahu dari teman Hermin yang juga anggota komunitas tenes bahwa Hermin terpaksa meninggalkan Herman karena sebagai suami Herman tidak pernah memberi nafkah ekonomi selain hanya uang sekolah anaknya. Jelasnya gaji Herman kalah jauh dengan Hermin yang kini memilih menikah dengan seorang kepala cabang.

Banyak wanita desa pun yang tak mau hanya mengandalkan gaji suami.
Banyak wanita desa pun yang tak mau hanya mengandalkan gaji suami.
Kisah di atas bukanlah fiktif, tetapi sebuah kisah nyata yang penulis dengar dari seorang ayah kala mengambil rapot bagi putrinya. Pengalaman lebih dari 40 tahun mengajar di sebuah sekolah yang mayoritas siswanya dari kalangan menengah atas, mendengar curahan hati seorang ayah semacam ini puluhan kali. 

Tentu saja, bukan hanya kenakalan seorang istri yang pernah penulis dengar tetapi juga kisah kebebalan seorang suami dan ayah yang tidak bertanggungjawab pada keluarganya. 

Sebagai seorang guru, penulis tentu saja harus berada di tengah dengan tetap rajin mendengarkan dengan sedikit wejangan bahwa anak-anak jangan sampai menjadi korban.

Kisah di atas memang penulis dengar dari sebagian orangtua murid dan tidak menggambarkan keadaan masyarakat sebenarnya. Tetapi kenyataan di lapangan yang sering kita lihat dan dengar dari kisah-kisah selebritis di telivisi bagaimana kawin cerai terjadi dalam kehidupan mereka karena adanya ketimpangan ekonomi di mana istri lebih besar pendapatannya daripada suami.

Suatu hari, ketika Kelompok PKK di tempat  tinggal kami mengadakan pertemuan arisan di sebuah kafe (nah ini gaya hidup ibu-ibu kota yang tidak mau ribet), seorang ibu nyelutuk: "Pak Yusup itu enak ya, tiap hari di rumah saja merawat anak dan masak. Bu Yusup jumpalitan cari uang..."

Celutukan ini mungkin hanya guyonan, tapi setidaknya menggambarkan kesetaraan gender di mana istri bekerja dan suami di rumah mengurus keluarga atau suami tidak mempunyai gaji  atau setidaknya gaji lebih kecil dari istri ternyata belum sepenuhnya diterima kaum wanita sendiri. Kaum wanita kelas menengah yang justru sering mendengungkan keseteraan gender dan menentang sistem patriarki.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun