Ini bukanlah senyuman seorang pedagang kaki lima yang berusaha menarik pembeli. Bukan pula senyuman SPG yang mengenalkan sebuah produk. Apalagi senyum manis seseorang yang berdiri di bawah pohon di keremangan malam saat mendung menggelayut.
Ini adalah senyum seorang petani yang sedang memanen jagung manis. Dua petak sawahnya menghasilan dua puluh karung jagung. Tak terlalu banyak tetapi harga kali ini juga tidak terlalu murah.
Senyum ceria sang petani pun terbaca seorang pedagang keliling yang menjual celana pendek. Si pedagang pun dengan senyum gembira menawarkan dagangannya.
"Dua puluh ribu perpotong, Pak..."
Sang petani menggelengkan kepala.
"Kalau beli tiga cuma lima puluh ribu saja."
Sang petani tetap tersenyum sambil menggelengkan kepala tanda menolak. Pedagang celana pun pergi namun tetap tersenyum walau belum laku.
Wajah dan kulitnya yang sedikit legam dengan kerutan tanda perjuangan hidup menggambarkan ketegarannya.
"Ngaso dulu...," ajakku.
Hanya sebuah senyum dan goyangan telapak tangan tanda belum mau.
Ia pun menumpahkan sekeranjang jagung yang telah dipetik dan diusung untuk dipilih memisahkan yang bagus dan kurang bagus.
"Masih delapan keranjang lagi," katanya sambil kembali ke ladang jagung.
"Pak mau nempil (beli sedikit) jagung lima ribu saja," pintanya.
Bukan pelit jika si petani menolak, sebab jagung sudah bukan miliknya lagi.
Si wanita pedagang keliling ini lalu pergi dengan tersenyum. Kembali aku membalas senyumannya dengan sebuah senyuman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H