Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Romantika Senyuman di Pinggir Jalan Tepi Sawah

9 Desember 2020   22:35 Diperbarui: 11 Desember 2020   16:04 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukanlah senyuman seorang pedagang kaki lima yang berusaha menarik pembeli. Bukan pula senyuman SPG yang mengenalkan sebuah produk. Apalagi senyum manis seseorang yang berdiri di bawah pohon di keremangan malam saat mendung menggelayut.

Ini adalah senyum seorang petani yang sedang memanen jagung manis. Dua petak sawahnya menghasilan dua puluh karung jagung. Tak terlalu banyak tetapi harga kali ini juga tidak terlalu murah.

Senyum ceria sang petani pun terbaca seorang pedagang keliling yang menjual celana pendek. Si pedagang pun dengan senyum gembira menawarkan dagangannya.

"Dua puluh ribu perpotong, Pak..."

Sang petani menggelengkan kepala.

"Kalau beli tiga cuma lima puluh ribu saja."

Sang petani tetap tersenyum sambil menggelengkan kepala tanda menolak. Pedagang celana pun pergi namun tetap tersenyum walau belum laku.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Hari makin siang, udara semakin gerah sekali pun mendung tetap menggantung. Seorang buruh tani pemetik jagung datang dengan senyum ceria, sekali pun ada sekeranjang jagung manis di pundaknya.

Wajah dan kulitnya yang sedikit legam dengan kerutan tanda perjuangan hidup menggambarkan ketegarannya.

"Ngaso dulu...," ajakku.

Hanya sebuah senyum dan goyangan telapak tangan tanda belum mau.

Ia pun menumpahkan sekeranjang jagung yang telah dipetik dan diusung untuk dipilih memisahkan yang bagus dan kurang bagus.

"Masih delapan keranjang lagi," katanya sambil kembali ke ladang jagung.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Baru sepuluh depa ia berjalan, seorang wanita manis tersenyum menyapaku. Sungguh tak baik kalau aku tak membalas senyumannya. Kukira ia akan menawarkan dagangan yang dibawa dengan sepeda motornya.

"Pak mau nempil (beli sedikit) jagung lima ribu saja," pintanya.

Bukan pelit jika si petani menolak, sebab jagung sudah bukan miliknya lagi.

Si wanita pedagang keliling ini lalu pergi dengan tersenyum. Kembali aku membalas senyumannya dengan sebuah senyuman.

Tetap tersenyum walau tak boleh beli. Dokumen pribadi
Tetap tersenyum walau tak boleh beli. Dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun