Bagi warga Malang, tentu sudah paham adanya geng-geng korax atau korak (kotoran rakyat) yang merupakan istilah untuk preman-preman lokal yang sering membuat ulah dengan mabuk, memalak, atau pun melakukan tindakan yang kadang membuat masyarakat kebat-kebit.
Sebenarnya pada awal 80an banyak juga preman yang bertobat setelah peristiwa petrus (penembakan misterius), toh keturunan mereka masih saja ada.- Sekali pun kenakalannya tak sehebat dulu. Bahkan muncul pula geng-geng lokal seperti Arpol (Arek Polehan), Aregrex (Arek Jalan Gereja), Argom (Armada Gombal) dan beberapa lainnya lagi yang menjadi benih lahirnya istilah Arema atau Arek Malang sebelum lahirnya Arema Football Club. Geng-geng tersebut kebanyakan beranggotakan kaum ABG yang sedang mencari identitas walau tak sedikit ada orang dewasa yang ikut.
Namun keanggotaan mereka bukanlah seperti pada sebuah organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan selain hanya komunitas tanpa bentuk. Karena tanpa bentuk inilah sangat sulit dikendalikan oleh aparat maupun penegak hukum. Jalan satu-satunya hanya melakukan pembinaan lewat tokoh masyarakat setempat lewat kegiatan olahraga dan keagamaan. Usaha sekecil apa pun selalu membawa hasil sekali pun kadang kurang memenuhi harapan, misalnya pertandingan voliball antara Aregrex vs Artem (Arek Temenggungan) yang berakhir dengan saling adu mulut saling ejek jika tanpa kesabaran dan kedewasaan tokoh bisa berujung fatal.
Senakal-nakalnya anak, jika orangtua pandai membina tentu akan menemukan kebaikan yang positif untuk dimunculkan sebagai jalan pertobatan para korax atau korak (kotoran rakyat) ini.
Membaca situasi seperti ini, beberapa pengurus RW di salah satu gang di Jalan Gereja yang jaraknya hanya 150 m dari pusat atau titik nol kota memutuskan mengadakan pengajian umum bagi kaum muda yang diadakan di salah satu halaman rumah warga yang tak terlalu luas.
Gayung bersambut, ternyata kaum muda sangat antusias menerima usulan para tua, maka dipanggilkan seorang tokoh agama yang masih muda untuk lebih menarik para korax ABG.
Sesuai dengan jadwal, pengajian yang berlangsung singkat dilanjutkan dengan sebuah kotbah untuk mengajak dan mendorong kaum muda Aregrex untuk bertobat. Para muda rupanya sangat antusias mendengar kotbah penuh retorika yang membuat mereka duduk diam dengan tenang. Hal ini tentu saja sangat membuat gembira para tua dan tentu saja para tokoh masyarakat yang dulu juga para korax. Apalagi sang pengkhotbah yang semakin menggebu. Satu jam penuh semangat berkotban pada akhirnya ia pun segera mengakhiri dan langsung mohon pamit begitu melihat sebagian korax yang duduk bersila dengan manis mulai meredupkan matanya.
Hal yang luar biasa terjadi kala pengkhotbah mohon pamit, para peserta pengajian tetap duduk manis sambil memandang sayu para tua.
"Ayo berdiri, salim dulu dengan mas kyai...," ajak ketua RW dan wakil kelurahan.
Salah satu pentolan korax bangkit berdiri dengan diikuti pemuda lainnya. Tiba-tiba saja salah satu di antara mereka terhuyung dan hoeeek... memuntahkan cairan isi perut dengan aroma miras. Lalu gedebug.....
jatuh tersungkur di depan ketua RW. Â Satu dua pemuda lainnya menyusul terhuyung dan jatuh ndlosor di tikar.
Tak pelak wajah ketua RW dan perangkat kelurahan serta para tokoh masyarakat yang hadir hanya bisa menahan nafas geregatan dan malu. Mas kyai pun segera pulang tanpa mempedulikan keadaan.
Rupanya saat mas kyai berkotbah para pemuda menikmati miras yang ditaruh di teko teh untuk mengelabui para hadirin lainnya. Bagi para korax mendengar kotbah memang baik tapi meninggalkan miras masih perlu perjuangan. Gegerlah kampung Aregrex....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H