Menyandingkan Kompasianer perempuan dengan bunga karena tulisan-tulisannya yang indah, lembut, dan semerbak adalah lumrah. Maka untuk menilai Kompasianer pria karena tulisan-tulisannya bukanlah hal yang mudah. Apakah karena saya sendiri seorang pria? Entahlah.
Menyandingkan dengan buah akan terasa aneh. Membandingkan dengan hewan seperti pada masa Majapait juga bisa tak diterima. Disebut bagaikan elang mungkin membanggakan, tapi jika dibandingkan dengan ular belum tentu menyenangkan. Ular sifat pendiam tapi tersinggung sedikit saja akan menggigit bahkan mungkin akan dililit lalu ditelan mentah-mentah dan bulat-bulat. Apalagi ular sering dikonotasikan dengan setan si penipu ulung. Gawat! Maka yang paling layak adalah membandingkan Kompasianer pria dengan keadaan alam seperti yang sering penulis jelajahi. Terutama sekitar Bromo, Tengger, dan Semeru.
Foto utama di atas adalah foto Ranu Regulo yang berada di sebelah timur laut Ranu Pani lereng Semeru. Jarang orang mengunjunginya. Pemandangannya yang indah menyejukkan dan segar, apalagi saat pagi. Jika Ranu Regulo adalah Kompasianer, ia adalah Bung Irwan Renaldi Sikumbang. Tulisannya yang aneka macam seperti aneka tumbuhan atau vegetasi yang ada di Ranu Regulo. Demikian juga gaya bahasa yang tenang seperti tenangnya danau vulkanik ini. Membaca tulisannya bagaikan duduk termenung di tepi Ranu Regulo.
Foto ke dua adalah danau vulkanik Ranu Kumbolo. Bagi para pecinta dan penikmat alam Ranu Kumbolo menjadi salah satu tujuan pendakian yang harus dilewati jika akan ke puncak Mahameru. Bahkan jika tak kuat maka tinggal sehari dua hari di sini bagaikan tinggal di dunia yang penuh misteri. Seperti tulisan Mas Djulianto S yang senantiasa mengupas tentang permuseuman dan benda-benda kepurbakalaan. Gaya bahasanya yang tenang dengan tema yang tetap tak tergoda peristiwa aktual menunjukkan ketangguhannya di balik sikapnya yang tenang seperti kala penulis bertemu dalam waktu yang sama dengan Mas Irwan Rinaldi Sikumbang pada Oktober 2018 saat Kompasianival.
Foto ke tiga ini kami sebut Jemplang yang merupakan pintu masuk ke tiga sebelum menuju Bromo. Jarang para pendaki atau pecinta alam menuruni wilayah selain warga Desa Ngadas untuk mencari rumput atau kayu bakar. Penulis sendiri selama 15 tahun  terakhir baru turun 3 kali. Jika musim hujan suasananya tampak menyeramkan. Sedang saat kemarau cukup terang namun cuaca yang mudah berubah juga cukup mengerikan. Sulit ditebak. Seperti tulisan Mas Felix Tani yang dalam dengan bahasa ilmiah yang sulit dijangkau. Sedalam jurang Jemplang.
Foto di atas ini adalah padang rumput kaldera Bromo yang berada tepat di perbatasan Malang dan Probolinggo. Kaldera yang cukup luas membentang seperti tulisan Mas Hendro Santoso yang tak pernah habis mengulas sepakbola dan kadang sedikit menyenggol olahraga lainnya. Walau pun kaldera ini luas tapi tak akan bosan berada di sini seperti membaca ulasan Mas Hensa.
pasir-putih-131-5f92cb788ede481b271bf542.jpg
Agak menyimpang jauh foto pantai Pasir Putih yang bening ini menggambarkan ketenangan dan kebeningan tulisan dan pemikiran Pak Tjiptadinata Efendi.
img-20180628-132837-5f92c14a8ede4868bf1c2c62.jpg
img20191016123013-5f92c16a8ede487b6329f442.jpg
img20191016174403-5f92c1e4d541df70ac750c24.jpg
img-20190327-161300-5f92c2728ede482c09175b72.jpg
Foto-foto Gunung Batok, Bromo, dan Widodaren yang saling bersebelahan dalam segala cuaca selalu menggambarkan gejolak perubahan dan dinamika sosial politik yang ditulis oleh Mas Susi H, Elang Salamina, Yon Bayu (walo sekarang jarang nulis) dan ....tak mungkin bisa disebut semua.
Biarlah budaya dan filsafat diulas Mas Guido. Dokpri
Kembali ke Puncak Bromo dan Ranu Kumbolo yang indah dan tenang namun sangat menenggelamkan seperti tulisan dua anak muda yang tenang dan santai mengajak para pembaca menikmati pandangan tentang masa depan di bidangnya masing-masing. Mas Ozy dan Mas Guido. Pendidikan dan pertanian. Tak ada tandingannya kemoncerannya untuk Kompasianer muda putra yang tak pernah surut melihat dan kenyataan yang ada serta mengkritisi tetapi juga mengambil jalan terbaik menghadapi.
Letusan Bromo terjadi saat sunatan kerabat kami. Dokpri
Lima foto terakhir di atas hanya Mas Zaldy Chan, Dua Sisi, Arif Er Shaleh, Mim Yudiarto, Syahrul Chelsky, Mas Sam, Kris Banarto, .... dan para fiksianer yang memiliki. Merekalah sang empunya dunia fiksi yang memberikan pendalaman nilai kehidupan.Â
Hari ini Kompasiana sudah berusia 12 tahun, para Kompasianer telah dibesarkan oleh Kompasiana. Sebaliknya Kompasiana telah dibawa Kompasianer menuju dunia yang lebih luas.
Lihat Inovasi Selengkapnya