Langit cerah dengan sedikit mendung di penghujung musim kemarau udara terasa demikian gerah. Terik mentari begitu menyengat tubuh apalagi sebagian hamparan sawah masih kerontang tanpa air semakin menambah betapa gerahnya hari ini. Sebagian lagi hamparan sawah yang waktunya diolah masih mendapat pasokan air sehingga masih tampak menyegarkan sekali pun belum ditanami.
Di hamparan sawah yang kering tampak beberapa petani tua sedang mencangkul menggemburkan dan mengolah tanah. Tanah kering tak mungkin dibajak dengan mesin atau secara tradisional dengan sapi selain harus dicangkul.
"Sendirian saja, Pak?" tanya saya pada Pak Jarot lelaki senja yang mencangkulnya.
"Sedikit garapan jadi saya kerjakan sendiri," jawabnya dengan suara lembut dan halus seakan menggambar bukan warga Malang asli yang sedikit kasar.
Senyumnya yang lugu menampakkan giginya yang masih lengkap  menunjukkan ketegaran wajahnya di antara keriput kulitnya yang telah dimakan usia. Ongkos sebesar 750 ribu untuk tanah seluas sekitar 800m persegi akan diterima Pak Jarot kala sudah selesai dalam waktu kurang lebih sepuluh hari.
"Kok dicangkul sendiri,Pak?" tanya saya iseng.
"Ongkosnya mahal. Kemarin rugi 20 juta karena harga sayur anjlok," jawabnya sambil menarik nafas lalu meniupnya kembali secara perlahan. Tubuhnya yang kecil dengan keriput yang menghiasi kulitnya namun dengan tatapan mata yang jernih menunjukkan betapa tangguhnya Mbah Karyo.
Hanya dua ratus meter di selatan sawah Mbah Karyo, lelaki tua tangguh tampak sendirian sedang memanen brambang prei. Ia melemparkan senyumnya kepadaku sambil menyapa dengan sebuah pertanyaan. "Mau ambil pepaya? Itu busuk...." Katanya sambil menunjuk ke arah pohon pepaya dengan tujuh pepaya yang busuk karena lalat buah.
Begitu penulis duduk di pematang, Mbah Suep pun datang mendekat lalu duduk di depan penulis. Tubuhnya yang mungil dengan otot-otot yang tampak tak menunjukkan kerentaannya selain wajah tangguh. Kala duduk kadang tampak tatapannya sedikit ke arah jauh entah ke mana, atau kadang menatap rendah ke  arah tanah dengan tarikan dan hembusan nafas yang mulai terengah. Saya tak berani menatapnya selain melirik terkagum akan ketegarannya.
"Syukurlah hari ini harga sedang naik." Katanya mengawali pembicaraan di bawah pohon kelapa.
"Dapat apa hari ini?" lanjutnya menanyakan padaku apa yang dapat kuborong hari ini.
"Hanya padi satu hektar," jawabku pelan.
"Tak apa, yang penting kerja."
Para lelaki tua atau petani lanjut usia di atas merupakan gambaran kebanyakan para petani tua di negeri ini yang tak pernah menyerah dalam berkarya. Mereka tak mengenal kata pensiun. Justru berhenti akan membuat mereka merasa tak berguna dan tubuh terasa sakit semua. Namun bukan berarti mereka tak mau menyerahkan pada kaum muda anak-anak mereka. Sebab para petani senja ini ingin putra-putrinya menikmati dulu betapa luasnya dunia mereka yang tak sebatas luas sawah yang terbentang di hadapan mereka. Hanya saja para petani senja ini mempunyai harapan kelak putra-putrinya mau melanjutkan hidup sebagai petani yang selalu hidup dalam kesederhanaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H