Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesobek Kafan

20 September 2020   16:30 Diperbarui: 20 September 2020   16:37 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuburan belakang rumah. Dokpri

Badannya cukup besar tapi tidak tinggi dan kekar bahkan cenderung gemuk. Kulitnya sedikit kusam mungkin dia seorang pekerja keras di luar ruangan. Pandangan matanya sedikit liar dan hal inilah yang membuat saya sedikit hati-hati menebak profesinya.

"Untuk apa sebenarnya kamu ingin bisa menghilang atau tak bisa dilihat orang?"

"Sekedar ingin tahu saja Mbah...," katanya sambil sebatang mengambil rokokku tanpa kutawari. Aku mulai membaca gelagat kurang baik dari dirinya.

"Aku punya mantranya dan kau bisa menghapalnya tapi kau harus punya jimat supaya mantra itu sakti."

"Apa itu Mbah?" Jawabnya spontan sambil meniupkan asap rokok ke arah wajahku tanpa rasa tak bersalah.

"Ambil sesobek kain kafan dari sebuah kuburan."

"Kuburan siapa Mbah?"

"Terserah kamu. Tapi kalau kamu ingin menggali cepat cari kuburan yang tidak dalam biasanya di daerah pesisir seperti Pasuruan, Probolinggo, Tuban, dan Gresik. Tapi kalau mau aman cari saja kuburan di pelosok pedesaan," jelasku yang didengar dengan seksama.

"Siyaaaap Mbah!" Jawabnya sambil menyeruput kopi tanpa unggah-ungguh lalu bangkit berdiri dan salim padaku dan mohon pamit pulang. Padahal masih ada lagi yang harus kuterangkan padanya.

0 0 0 0 0

Panasnya cuaca pegunungan kapur daerah selatan Malang membuat suasana gerah siang ini. Sehingga aku hanya bisa leyeh-leyeh di lincak di bawah rerimbunan rumpun bambu yang terus meniupkan alunan irama lembut gesekan batang bambu yang tertiup angin dari arah pantai.

"Mbaaaah.....nuwuuun (permisi)." Seorang pemuda turun dari sepeda motor gedhe menyapaku dengan suara agak keras. Siapa lagi kalau bukan pria yang ingin bisa menghilang itu.

Niatnya untuk memiliki ilmu itu rupanya demikian besar. Hampir tiga bulan berlalu kukira dia tak bisa memenuhi satu syarat itu ternyata kali ini datang dan langsung duduk bersila di depanku. Tanpa ba bi bu mengeluarkan sesobek kain putih kumuh dengan banyak debu tanah yang masih menempel.

"Motormu baru ya?" Tanyaku penasaran melihat motor gedhe baru dengan nomer dari daerah pesisir utara padahal dia tinggal di daerah selatan.

"Iya Mbah, beli milik teman..." Jawabnya dengan sedikit gelagapan. Aku kembali curiga dengan ketidakjujurannya.

Setelah berbincang sebentar kuajak dia ke kuburan desa sedikit di belakang rumah dan kusuruh dia berbaring di sebuah kuburan pendiri desa.

"Jangan sekali-sekali kau buka matamu sebelum kusuruh dan jangan bergerak sekali pun ada semut atau nyamuk menggigitmu. Matamu akan kututup dengan kain kafan ini."

Kala ia memejamkan matanya kuambil kain kafan dari seseorang yang ingin juga memiliki ilmu bisa menghilang namun setelah seseorang ini tak meneruskan karena takut ketemu lelembut yang menutupi dirinya. Kain kafan asli ini kutaruh di atas kedua kelopak matanya.

"Sekarang bayangkan kuburan yang kau ambil kain kafannya dan lihat siapa yang datang padamu....," kataku lirih sekali.

Suasana kuburan makin sepi hanya nafasnya yang mulai terengah di antara kicauan seekor kedasih di pucuk pohon trembesi di dekat setapak kuburan.

"Mbah...," katanya lirih sambil salah satu tangannya berusaha meraih diriku. Aku diam saja dan sedikit mundur menghindari raihan tangannya. Kusulut rokok klembak menyan yang menimbulkan suasana sakral.

Baru dua kali hisapan klembak, kulihat nafasnya semakin terengah lalu berkata, " Mbaaah....dia datang Mbaaaah dia datang...dia dataaaaang...Ampun....ampun....ampuuuun."

Setelah berseru demikian ia bangun dan menarik kain kafan di atas pelupuk matanya dan dengan sangat terengah melihat kiri kanan kuburan dengan wajah ketakutan.

"Hlo kok takut dia akan menutupi dirimu."

"Jangan Mbah...dia minta aku mengembalikan kain kafannya. Aku takut Mbah... tolong kembalikan ya...." Rajuknya sambil berdiri lalu mohon pamit.

0 0 0 0 0

Sesobek kafan. Dokpri
Sesobek kafan. Dokpri
Mentari masih di atas ufuk barat kala aku berada di sungai untuk membersihkan diri dan menghilangkan gerah di badan. Sesaat kemudian Kang Jadi datang untuk ngguyang (memandikan) sapinya.

"Mbah tadi di dekat jembatan ada anak muda nabrak rambu hati-hati tikungan tajam. Motornya hancur walau kepalanya bendhol seperti bakpao. Katanya dia dikejar pocongan!" Cerita Kang Jadi

Aku mengangguk-angguk sambil membayangkan untung tadi kuberi kain kafan asli bukan kain kafan palsu darinya.

"Anak mana dia?"

"Tadi ada polisi datang dan mengatakan dia begal dan sering mencuri sepeda motor yang sedang dikejar."

"Jadi dia dikejar polisi dan pocongan ya?"

Kang Jadi hanya tertawa mendengar pertanyaanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun