Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesobek Kafan

20 September 2020   16:30 Diperbarui: 20 September 2020   16:37 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuburan belakang rumah. Dokpri

"Mbaaaah.....nuwuuun (permisi)." Seorang pemuda turun dari sepeda motor gedhe menyapaku dengan suara agak keras. Siapa lagi kalau bukan pria yang ingin bisa menghilang itu.

Niatnya untuk memiliki ilmu itu rupanya demikian besar. Hampir tiga bulan berlalu kukira dia tak bisa memenuhi satu syarat itu ternyata kali ini datang dan langsung duduk bersila di depanku. Tanpa ba bi bu mengeluarkan sesobek kain putih kumuh dengan banyak debu tanah yang masih menempel.

"Motormu baru ya?" Tanyaku penasaran melihat motor gedhe baru dengan nomer dari daerah pesisir utara padahal dia tinggal di daerah selatan.

"Iya Mbah, beli milik teman..." Jawabnya dengan sedikit gelagapan. Aku kembali curiga dengan ketidakjujurannya.

Setelah berbincang sebentar kuajak dia ke kuburan desa sedikit di belakang rumah dan kusuruh dia berbaring di sebuah kuburan pendiri desa.

"Jangan sekali-sekali kau buka matamu sebelum kusuruh dan jangan bergerak sekali pun ada semut atau nyamuk menggigitmu. Matamu akan kututup dengan kain kafan ini."

Kala ia memejamkan matanya kuambil kain kafan dari seseorang yang ingin juga memiliki ilmu bisa menghilang namun setelah seseorang ini tak meneruskan karena takut ketemu lelembut yang menutupi dirinya. Kain kafan asli ini kutaruh di atas kedua kelopak matanya.

"Sekarang bayangkan kuburan yang kau ambil kain kafannya dan lihat siapa yang datang padamu....," kataku lirih sekali.

Suasana kuburan makin sepi hanya nafasnya yang mulai terengah di antara kicauan seekor kedasih di pucuk pohon trembesi di dekat setapak kuburan.

"Mbah...," katanya lirih sambil salah satu tangannya berusaha meraih diriku. Aku diam saja dan sedikit mundur menghindari raihan tangannya. Kusulut rokok klembak menyan yang menimbulkan suasana sakral.

Baru dua kali hisapan klembak, kulihat nafasnya semakin terengah lalu berkata, " Mbaaah....dia datang Mbaaaah dia datang...dia dataaaaang...Ampun....ampun....ampuuuun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun