Hari masih cukup pagi, jam baru saja menunjukkan angka sembilan. Namun panas mentari sudah terasa begitu menyengat kulit apalagi di wajah. Pertengahan September memang awal puncak musim kemarau maka tak heran panas terasa begitu menyengat jika berada di luar ruangan sekali pun berada di tengah sawah dengan semilirnya angin yang cukup deras.Â
Suasana makin terasa gerah karena bentangan sawah kelihatan cukup meranggas dengan tanaman kering atau lahan tanpa tanaman atau tanaman muda yang seakan hidup enggan mati tak mau. Sebagian lahan memang masih menunjukkan kesegarannya dan kesuburannya karena air masih cukup membasahi.
Beberapa buruh tani wanita tua sibuk menyiangi atau membersihkan rerumputan dan gulma yang mulai ikut kering di salah satu petak sawah di timur Desa Kedungrejo, Malang. Senda gurau kadang tercelutuk untuk menghibur diri. Seorang petani perempuan muda yang sedang menyiangi gulma di petak sawahnya hanya tersenyum mendengar celotehan mereka.
"Sudah ga kerja lagi di salon?" tanyaku sambil memotretnya.
"Ya, kadang-kadang dipanggil Ibu kalau ada yang mau facial," jawabnya sambil menyebut nama seorang wanita pemilik salon kecantikan di dekat rumah penulis.
Menjadi petani, pada masa kini memang bukan menjadi pilihan utama bagi sebagian kaum muda desa terutama kaum perempuan. Bekerja sebagai buruh pabrik, karyawan toko, atau ART terasa lebih terhormat. Bukan hanya karena honornya yang lebih besar dan mendapat THR saat akhir tahun tetapi tak mau berpanas ria dan belepotan lumpur saat musim hujan adalah faktor lain yang menjadi alasan. Namun tidak demikian bagi sebagian perempuan desa, salah satunya adalah Sumini.
Hari ini, di bentangan sawah salah satu sudut Desa Kedungrejo hanya ada lima wanita dan satu di antaranya Sumini.
"Daripada membayar buruh lebih baik dikerjakan sendiri. Apalagi harga sayur di masa pandemi Covid-19 ini tak menentu." Katanya sambil menunjuk ke arah lahan sayur bayam dan kemangi yang tidak dipanen karena tersungkurnya harga sayuran.
"Terus tani atau nanti kembali ke salon?"
"Ya tani to, ke salon hanya sampingan kalo ada panggilan saja," jawabnya sambil tersenyum.
Sebuah senyum manis yang indah seperti bunga kenikir merah muda yang mekar merekah tumbuh di tepi sawah dekat parit. Bunga kecil walau tak menebarkan keharuman namun kehadirannya membuat keindahan di antara keringnya sawah yang sepi dari kicauan burung yang entah mengungsi kemana. Akankah Sumini bisa menjadi contoh bagi kaum perempuan muda desa untuk kembali bertani atau bahkan menjadi contoh bagi perempuan lainnya bahwa perempuan bisa berkarya di manapun dalam suasana apa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H