Sebatang pohon flamboyant tampak cantik merona di pinggir jalan berbatu kapur di tanah tandus pinggir gunung yang tak pernah menghembuskan sejuknya angin apalagi menurunkan embun di kala pagi.
Ia selalu tersenyum manis pada siapapun yang lewat dan memandangnya tak peduli ia disapa ramah atau hanya dilirik tanpa tegur sapa.
Ia tak pernah merasa kecewa walau sepi selalu menemani. Baginya sepi adalah bahagia yang masih merantau bersama burung kacamata yang ditunggunya untuk mengisap madu.
Apalagi Sang Emak, si empunya lahan kadang menyiramnya dengan air perigi atau seember air sungai yang di bawahnya dari lembah, maka ia akan tersenyum bahagia. Sebab merah merona dirinya semakin membuat ia merasa cantik.
Namun ia menjadi sedikit malu kala seekor burung kutilang datang bernyanyi menyapanya. Ia pun berusaha bersembunyi di balik mungil dedaunannya.
Sang flamboyant pun bertanya dalam hati, kemanakah gerangan si burung kecamata mungil yang akan menari dan mengisap madunya sebelum ia jatuh layu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H