Juni, 1977
Semalam kami bertiga betul-betul tak bisa tidur karena dingin yang menggigit. Sehingga jam 4 dini hari kami harus berendam air panas di telaga kecil di tengah hutan. Sebuah hutan yang kini menjadi tempat wisata alam atau wana wisata yang bernama Cangar yang berada di Desa Sumber Brantas, Batu. Namun kala itu masih masuk wilayah Kabupaten Malang. Jam setengah tujuh kami baru keluar dari rendaman setelah sinar mentari mulai menerobos pucuk-pucuk dahan pepohonan hutan.
Setelah sarapan kami bertiga mencari tanah agak lapang untuk berjemur karena udara masih terasa dingin. Perjalanan yang hanya sekitar 300 m dari tenda ternyata cukup menghangat tubuh sehingga tanpa terasa kami terus berjalan menikmati jalan setapak di antara pinggir hutan dan ilalang liar setinggi 1-1,5 m. Entah mengapa, selama perjalanan kami membisu tanpa bicara sedikit pun. Mungkin saat itu betul-betul terpesona akan lebatnya hutan dengan ocehan burung-burung betet yang kala itu masih banyak. Atau bisa juga dua orang teman saya sedang memendam sedikit rasa takut seperti saya namun tak terucap karena malu.
Kala mendekati padang ilalang yang cukup luas, tiba-tiba kami sadar telah meninggalkan tempat perkemahan sejauh 20 menit perjalanan menuruni lembah. Sadar akan hal ini, kami segera kembali. "Hee...kemana ini. Ayo kembali...!" kata Wiyoto temanku yang ada paling depan.
Saya sendiri yang berada paling belakang langsung berbalik dan kini berada paling depan. Alangkah kagetnya ternyata hutan cukup jauh kami tinggalkan. Dengan berjalan pelan kadang merangkak untuk naik bukit yang licin kami bersusah payah kembali ke perkemahan. Agar tidak terpeleset kami melintasi pinggir hutan dengan menapaki akar-akar pohon.
Belum seratus meter kami naik tiba-tiba mata saya tertuju pada pandangan mata tajam dari sebuah kepala hitam di antara rerimbunan semak belukar di bawah pohon besar. Beberapa detik saya tertegun. Anton temanku yang ada di belakangku sedikit mendorong karena tak tahu apa yang terjadi.
"Ayo maju," katanya.
"Ada macan....," kataku lirih ketakutan. Â
"Mbah...nyuwun sewu nderek langkung (Mbah... permisi numpang lewat)," kata Anton dengan suara pelan dan serak karena takut lalu dengan perlahan mundur kemudian lari bersama Wiyoto tanpa memberitahuku. Tersadar akan hal ini, aku pun langsung berbalik kembali ikut lari bersama mereka. Tentu saja sambil berteriak-teriak walau jarak kami tak lebih dari lima meter.
Di tempat kami semula mulai merasa tersesat lalu duduk istirahat dengan nafas tersengal. Belum lama kami duduk tiba-tiba saja nongol sesosok manusia hitam. Anton yang rupanya paling terengah langsung lunglai dan pingsan. Aku dan Wiyoto yang tak terlalu kaget melihat sesosok yang ternyata penjual tape ketan hitam yang berjalan kaki belasan kilometer dari arah Pacet, Mojokerto justru kaget melihat Anton pingsan.Â
"Kena apa?" tanya sang penjual tape.
"Baru  ketemu macan kumbang, Pak."
"Oh ketemu Simbah...," kata sang penjual tape lalu mengambil sesendok badhek (air tape) dan cucupkan ke mulut Anton yang langsung tersadar.
"Sekarang ikuti kami saja. Jangan lewat situ lagi," kata istri sang penjual tape ketan yang ikut suaminya berjualan. Wajah dan senyum manisnya yang polos ternyata masih membuatku berpikir kurang baik. Jangan-jangan dia jejadian dari harimau kumbang betina yang tersenyum menyapa kami tadi.
- Hingga awal tahun 80an, jalan dari Cangar dan Pacet masih merupakan jalan setapak di antara hutan lebat.
- Para penjual tape ketan hitam harus berjalan kaki belasan kilometer melewati hutan belantara. Namun kini jalan sudah selebar 6-8 meter dengan aspal halus kecuali belum ada penerangan jalan.
- Macan kumbang di daerah ini kadang masih menampakkan diri. Terakhir pada th 2017 di sekitar Kebun Teh Wonosari yang ada di sebelah timur Cangar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H