Sekali waktu, kami berdua bergowesria di sebuah perbukitan yang tak jauh dari rumah. Jaraknya hanya sekitar 3km saja atau jika dari pusat kota hanya sekitar 7km. Warga Malang menyebutnya Gunung Buring. Sebuah tempat yang dulu merupakan hutan rakyat yang lebat dan kini sebagian menjadi perkebunan tebu dan beberapa komplek perumahan kelas menengah serta desa yang semakin maju dan makmur.Â
Hingga awal 80an menuju ke arah sana hanya berupa jalan setapak maka kini menjadi jalan beraspal dengan lebar sekitar 4m. Namun suasana sepi dan temaram kala senja hingga malam menyebabkan tempat ini kadang masih membuat orang ragu melewatinya.
Pada gowes kali ini saat di Gunung Buring kami melewati jalan aspal sejauh kurang lebih 3km, jalan makadam 2km, dan jalan tanah 1km saja. Di akhir jalan makadam, tak disangka tertutup sebuah praoto yang sedang mengambil tanah dari pelebaran jalan setapak. Namun niat mencari tantangan dan pengalaman baru dengan percaya diri kami menerobos lewat samping yang sangat sempit.
Hal yang tak terduga terjadi lagi, setelah 500m ternyata jalan setapak tanah kini mulai rimbun dengan semak belukar dan rumpun bambu yang agak gelap dan tak mungkin sepeda gunung dinaiki sekali pun jalan menurun sekitar 45 derajat.Â
Tanah cadas yang licin karena sedikitnya sinar mentari serta derasnya air hujan yang melewati telah membentuk parit-parit kecil selebar hanya 15-45cm saja namun kedalamannya bisa mencapai 50cm lebih.Â
Jadi sungguh berbahaya jika terperosok maka roda sepeda akan terjepit dan kemungkinan patah serta pengendara akan terbanting. Bila kaki dan tangan pun bisa terjepit dan patah atau setidaknya dislokasi yang tak mungkin akan segera mendapat pertolongan karena jauh dari hunian.
Sempat kami cegah namun setelah mengeetahui bahwa kami yang bukan warga di tempat itu saja berani rupanya dia merasa malu untuk putar balik. Rasa percaya diri yang berlebihan membuat dia nekat menuruni dengan cara menuntun sepeda motornya.Â
Belum 50m, sepeda motornya melorot sendiri tanpa bisa direm atau ditahan karena licinnya medan. Roda depan masuk ke dalam parit sempit dan bagian belakang sepeda motor langsung memutar arah. Kurang lebih 10 menit dia berusaha menarik dan tak bisa akhirnya saya menolongnya dan berhasil.
Belum lagi 60m dilewati dengan susah payah hal itu terjadi lagi dan saya pun wajib menolongnya hingga berhasil. Sedang istri saya yang masih sendirian berada di atas tampak ketakutan yang membuat saya harus kembali ke atas.Â
Namun sungguh tak disangka lagi, medan yang berat membuat pecari kayu ini mengalami nasib sial yang sama. Ia pun berteriak-teriak putus asa dan seperti orang kesurupan sehingga kami putuskan harus ikut turun melewati jalan itu dengan jalan menuntun sepeda sambil menemani si pencari kayu bakar agar bisa membantu kala jatuh lagi.Â
Ternyata benar, selama melanjutkan perjalanan dia terpeleset sebanyak 3 kali lagi. Dan, akhirnya setelah 45 menit jatuh bangun kami berhasil melewati jalan penuh kenangan yang hanya berjarak 1km saja. Â
Begitu sampai di ujung  atau di bawah bukit, si pencari kayu ini hanya melirik kami lalu tancap gas meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun. Kami berdua hanya tersenyum melihat tingkah lakunya yang merasa terlalu percaya diri akan kemampuannya sebagai orang yang merasa mengenal dan akan bisa melewati wilayah berat yang dianggap tak terlalu sulit untuk dilewati.
Kepercayaan diri atas kekuatan dan kemampuan yang dimiliki dan malu bila orang lain bisa melakukan kadang membuat lupa bahwa kemampuan kita sebenarnya juga terbatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H