Sejak masa Orba hingga kini telah dibentuk kelompok tani hingga Gapoktan yang salah satu tujuannya meningkatkan pengetahuan petani baik dalam olah tanam hingga menjual hasil buminya. Komunitas seperti sedikit demi sedikit telah mengikis keberadaan pengijon yang kini mulai tak berkutik.Â
Menjadi pengijon pun tak selamanya menguntungkan sebab kala tanaman telah dibeli atau dibayar sebelum berbunga biasanya para petani juga enggan menggarap dengan baik sehingga kualitas dan kuatintas produksinya pun menurun. Pada masa kini kerjasama pengolahan lahan lebih sering bagi hasil seperti yang telah saya tulis di sini: kompasiana.com/aremangadas.
Beda dengan pengijon yang membeli saat tanaman masih muda dengan harga perkiraan yang jauh dari harga pasar, maka tengkulak membeli saat panen hampir tiba atau kala sudah dipanen.
Tentu saja harga masih di bawah pasar karena transportasi menjadi tanggung jawab tengkulak. Namun selisih harga (gabah) per kg kadang hanya 50-100 rupiah saja lebih dari itu maka dianggap lintah darat.
Pesan orang tua pada tengkulak 'pari lan beras kuwi sumber pangane wong mula aja golek bathi gedhe, ora ilok' Artinya 'padi dan beras adalah sumber makanan orang, maka jangan mencari untung yang besar, tidak elok.' Kecuali harga buah selisih harga bisa 250-500 per kg.
Maka jika seorang tengkulak berhasil membeli gabah satu hektar dan untuk dijual lagi ke pabrik pengolahan beras keuntungan yang didapat tak lebih dari satu juta.
Sedikit sekali? Memang begitulah kenyataannya. Â Namun jika bisa membeli puluhan ton tentu bisa memperoleh keuntungan besar. Sama seperti petani dengan lahan sempit tentu saja keuntungan yang didapat pun tak sebesar yang memiliki lahan yang luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H