Kluyuran atau klayaban memang salah satu hobi saya yang sulit dilepaskan. Entah menyusuri sungai dan lembah, naik gunung dan bukit, keluar masuk hutan, atau mengunjungi wilayah Nyai Roro Kidul namun tak pernah bertemu malah diusir dan dimarahi olehnya. Kisah ini sudah kutulis di Kompasiana pada akhir 2013.
Klayaban saya lakukan kadang sendiri, kadang dengan istri saja, kadang dengan trio kwek-kwek, tapi sering juga dengan kwartet betet. Baik jalan kaki, naik motor, atau mobil, cuma kalau gowes dengan mantan pacar saja.
Selama klayaban selalu membawa cinderamata tapi tak pernah bawa atau beli oleh-oleh makanan. Kecuali klanthing dan klembak menyan dari Kebumen. Klanting jadi camilan awet sepanjang perjalanan agar saat mengemudi tak ngantuk. Klembak menyan seperti biasa untuk merdukun. Hehehheee....
Cinderamata dari berbagai wilayah kini jadi hiasan pendapa padepokan kami, sehingga rumah kami tampak sangar dan ada yang nyebut rumah mbah dukun. Apalagi setiap Rabu Legi dan Kamis Kliwon saya selalu bakar menyan di depan patung Buddha yang kami beli di Magelang pada 2008 silam.
Pada tulisan kali ini yang saya mau pamer cuma beberapa saja, sebab sebagian lainnya pernah saya pamerkan saat Kompasiana mengadakan Indonesia Community Club II atau ICD II di Malang pada 2018 silam. Sebagian lagi pernah juga saya pamerkan lewat akun IG dan FB yang sekarang sudah saya 'off' kan.
Mumpung sekarang masih bulan ramadhan, saya mohon maaf kalau mau pamer. Pamer saya kali ini untuk meramaikan HUT ke 5 KOTEKA, sebab sudah berkali-kali Mbak Gaganawati sering mengadakan even tapi saya kok ga pernah ikut. Kuatir dianggap sombong. Padahal memang begitulah saya.
Saya memakai sarung batik sebagai cindermata saat ke Solo 2008 silam, sedang bajunya adalah khas Bali saat dolan ke sana pada 2012 silam. Sedang udengnya merupakan khas ikat kepala Suku Badui Luar, namun saya yakin sepenuhnya itu buatan Laweyan, Solo sebab saat saya ke Badui Luar pada 2006 kok tak melihat adanya aktifitas membatik masyarakat di sana. Tentang pemakain udeng, saya menggunakan gaya Suku Tengger. Cukup aneh, karena saya memang tak tahu cara memakai apalagi filosofinya udeng khas Suku Badui Luar.Â
Rebab dan gambang yang tampak tersebut merupakan cinderamata dari Wonogiri (Mas Rahab Ganendra dan Kompasianer Wonogiren harus bangga) merupakan hadiah dari seorang pengrajin gamelan dari Wonogiri karena saya telah membeli dua perangkat gamelan selama empat tahun terakhir.Â
Suling pelog yang bersandar di gambang merupakan cinderamata dari Jogjakarta dan suling reyog di sebelahnya merupakan cinderamata dari seorang pemain reog saat saya ke Ponorogo.Â
Foto ke dua.
Kemeja batik yang saya kenakan bukan hasil kunjungan atau dolan-dolan ke suatu daerah tetapi hadiah dari Rumpies The Club atau RTC karena memenangkan lomba menulis. Entah puisi atau pantun, saya lupa. Sedang tongkat naga di tangan kiri merupakan cinderamata dari Ponorogo  saat berkunjung beberapa waktu silam dalam perjalanan ke Kebumen lewat jalur pantai selatan. Sedang koteka juga hadiah dari seorang teman Papua saat berkunjung ke padepokan saya.Â
Cincin akik atau batu permata di jari manis kiri dan kanan merupakan cinderamata dari Pacitan saat mampir di sana dalam perjalanan ke wilayah Jawa Tengah dan Jogjakarta yang sering kami lakukan. Cincin ini cuma untuk disimpan saja bukan karena barang bertuah tapi kulit saya alergi logam. Kalau memakai cincin dan arloji selalu timbul bintik-bintik gatal.
Tentang gambang dan rebab, hampir setiap malam saya mainkan mengiringi mantan pacar melantunkan tembang macapat Wahyu Kalaseba dan Lingsir Wengi yang cukup sakral bagi masyarakat Jawa trdisional dan penggemar serta pemerhati budaya Jawa. Kadang juga untuk mengiringi saat istri eh mantan pacar nyinden saat pagelaran wayang kulit atau tampil karawitan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H