Setiap tokoh, apa pun bidangnya termasuk sastrawan, tentu ada jamannya sendiri. Kala mereka bisa membuat sebuah perubahan dalam perjuangan atau pesan-pesan yang disampaikan pada masyarakat umum tentu akan dikenang. Sutan Takdir Alisyahbana tentu beda dengan Pramudya Ananta Toer. Chairil Anwar tentu beda dengan Sapardi Djoko D. Siapa yang paling menarik? Bagi saya semua menarik walau beda gaya bahasa dalam bertutur tulis lewat coretannya dalam membuat sebuah tulisan: puisi.
Siapa paling berkesan? Tentu setiap orang punya pendapat berbeda sesuai dengan pengalaman dan pandangan hidup mereka masing-masing yang tak dapat ditawar. Sekali pun saya mengenal tulisannya Sapardi Djoko Darmono sejak akhir tahun 70an lewat majalah Horizon tetapi saya lebih terkesan pada Chairil Anwar.Â
Ada dua alasan, pertama saya pernah diusir guru Bahasa Indonesia saat SPG gegara tak hafal puisi karya Chairil Anwar: Aku. Kedua, saya suka gaya rambutnya yang kala pertengahan tahun 70an dikenal dengan sebutan biyak tengah dan saya tiru. Herannya, potongan rambut seperti ini juga dipakai Kim Jong Un, diktator Korea Utara itu.
Maka dari itu, puisi dan cerpen saya di Kompasiana lebih banyak dalam bahasa Jawa, geguritan dan cerita cekak. Memang ada sekitar 12 karya saya di Kompasiana yang saya hapus berhubung saya ikutkan lomba geguritan dan cerita cekak. Serta ada dua geguritan yang saya hapus karena sedikit berbau mantra yang jika dikenal maka bisa disalah gunakan.
Geguritan atau puisi dalam bahasa Jawa karya saya lebih banyak dipengaruhi puisi dari Chairil Anwar: Aku, sebuah karya yang pendek, lugas, dan tak bertele-tele.
Patung Chairil Anwar di Malang
Sayang sekali, patung Chairil Anwar setengah badan yang dulu tampak begitu anggun dengan warna alami abu-abu semen, pada awal tahun 80an di bagian penyanggah dilapisi keramik warna merah maron seperti keramik teras rumah atau kamar mandi. Â Akhir 2019, taman di sekitar patung iniini direnovasi dengan gaya masa kini bahkan aspal jalan sebagian dibongkar dan diganti tegel batu seperti di sekitar Tugu Jogja.
Hanya saja pemasangan yang kurang baik sehingga beberapa tegel goyang dan terkelupas. Dan yang paling disayangkan, keramik 'kamar mandi' masih terpasang atau tak diganti dan cat yang baru diganti sudah terkelupas. Padahal baru berumur sekitar 4 bulan saja.Â
Catatan:Â
Gegara pandemi Covid-19, sekitar  6 bulan tak bertemu dengan guru Bahasa Indonesia yang selanjutnya jadi teman pemerhati budaya, ternyata hari ini Beliau, Prof. Dr. Henry Suprianto, dimuat surat kabar harian Kompas. Syukurlah, masih sehat wal afiat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H