Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menguapnya Rasa Pedas Cabai dan Hilangnya Bau Harum Kemangi

23 April 2020   09:50 Diperbarui: 26 April 2020   07:59 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memetik cabai. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Siapa pun akan merasa bahagia, bukan sekedar senang dan bangga jika apa yang direncanakan dan diupayakan dengan baik akan berhasil. Hal ini berlaku juga bagi petani termasuk petani penggarap. Nasib baik tak selalu membawa keberuntungan.  

Dua bulan lalu kami sepakat menanam cabai lokal dengan pertimbangan kerja sama dengan petani sebelumnya kami cukup berhasil serta pada saat ini akan menghadapi masa puasa (ramadan) di mana masyarakat Jawa tradisonal banyak melakukan selamatan (kenduri dan megengan) sebagai persiapan memasuki bulan puasa. 

Selain itu, kebutuhan konsumtif biasanya malah melonjak. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Saat ini harga cabai jatuh cukup mengenaskan hanya Rp 18.000 per kg. Padahal sebulan lalu harganya masih berkisar antara Rp 38.000 -- 45.000 per kg.

Seperti biasa, saat musim penghujan petani enggan menanam cabai dengan alasan tanaman akan mudah busuk (Jawa: londot) karena terlalu banyak air (tersiram air hujan di malam hari), serangan jamur, dan virus.

Alasan inilah yang membuat harga cabai cenderung lebih mahal bahkan kadang sampai Rp 90.000 per kg daripada saat musim kemarau paling mahal Rp 25.000 per kg.

Sebulan lalu masih membuat tersenyum bahagia. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Sebulan lalu masih membuat tersenyum bahagia. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Sekarang membuat terkapar. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Sekarang membuat terkapar. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Syukurlah masih ada senyum. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Syukurlah masih ada senyum. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Senyum kecut. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Senyum kecut. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Kali ini di luar dugaan, serangan covid-19 yang berdampak sosial ekonomi  dengan adanya kebijakan #dirumahsaja dan #jagajarak sosial serta #karantina atau #lockdown setempat membuat pedagang sayur dan makanan keliling serta pedagang masakan K5 menjadi mati suri kekurangan konsumen. 

Padahal para pedagang inilah penyerap atau penyedot utama komoditas lombok atau cabai. Memang pasar tradisional sebagai pengecer masih bergeliat namun menurunnya kebutuhan dibanding naiknya atau melimpahnya penawaran sungguh membuat senyum kami menjadi terasa pedas.

Dinamika dan romantika bertani memang naik turun seperti perputaran roda kehidupan dan tetap harus disyukuri. Sebab masa panen cabai dalam sekali tanam bisa mencapai antara 30 sampai 50 petik. 

Jika harga musim petik hingga ke 10 jatuh, dan pada musim petik hingga ke 25 cukup stabil, lalu pada musim petik 26 -- 50 di mana produksi mulai menurun namun harga mulai menanjak masih bisa dimaklumi.

Dalam kondisi seperti ini, bila hingga hari raya masih ada PSBB dan perekonomian masih lesu tentu para petani masih harus merasakan pedasnya lombok.

Panen kemangi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Panen kemangi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Memilah kemangi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Memilah kemangi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Apa boleh buat kemangi harus dibabat. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Apa boleh buat kemangi harus dibabat. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Terpaksa. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Terpaksa. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Di sisi lain, kali ini yang harganya jatuh bukan hanya lombok atau cabai tetapi juga sayur kemangi yang juga banyak digunakan sebagai sayur pendamping  selain sambel yang dijual oleh pedagang masakan K5 juga karena berkurangnya orang selamatan megengan menjelang puasa. 

Harga per bentel yang berisi 25 ikat sebulan lalu harganya mencapai Rp 30.000. Hari ini cuma Rp 7.000 per bentel. Wanginya  daun kemangi kini menguap di tengah ladang yang harus dicabut dan dibiarkan busuk di pinggir pematang. Lebih menyedihkan.    

Ikut sedih. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Ikut sedih. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Buat apa susah? Kata Si Kakek. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Buat apa susah? Kata Si Kakek. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Memetik cabai. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Memetik cabai. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun