Siapa pun akan merasa bahagia, bukan sekedar senang dan bangga jika apa yang direncanakan dan diupayakan dengan baik akan berhasil. Hal ini berlaku juga bagi petani termasuk petani penggarap. Nasib baik tak selalu membawa keberuntungan. Â
Dua bulan lalu kami sepakat menanam cabai lokal dengan pertimbangan kerja sama dengan petani sebelumnya kami cukup berhasil serta pada saat ini akan menghadapi masa puasa (ramadan) di mana masyarakat Jawa tradisonal banyak melakukan selamatan (kenduri dan megengan) sebagai persiapan memasuki bulan puasa.Â
Selain itu, kebutuhan konsumtif biasanya malah melonjak. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Saat ini harga cabai jatuh cukup mengenaskan hanya Rp 18.000 per kg. Padahal sebulan lalu harganya masih berkisar antara Rp 38.000 -- 45.000 per kg.
Seperti biasa, saat musim penghujan petani enggan menanam cabai dengan alasan tanaman akan mudah busuk (Jawa: londot) karena terlalu banyak air (tersiram air hujan di malam hari), serangan jamur, dan virus.
Alasan inilah yang membuat harga cabai cenderung lebih mahal bahkan kadang sampai Rp 90.000 per kg daripada saat musim kemarau paling mahal Rp 25.000 per kg.
Padahal para pedagang inilah penyerap atau penyedot utama komoditas lombok atau cabai. Memang pasar tradisional sebagai pengecer masih bergeliat namun menurunnya kebutuhan dibanding naiknya atau melimpahnya penawaran sungguh membuat senyum kami menjadi terasa pedas.
Dinamika dan romantika bertani memang naik turun seperti perputaran roda kehidupan dan tetap harus disyukuri. Sebab masa panen cabai dalam sekali tanam bisa mencapai antara 30 sampai 50 petik.Â
Jika harga musim petik hingga ke 10 jatuh, dan pada musim petik hingga ke 25 cukup stabil, lalu pada musim petik 26 -- 50 di mana produksi mulai menurun namun harga mulai menanjak masih bisa dimaklumi.
Dalam kondisi seperti ini, bila hingga hari raya masih ada PSBB dan perekonomian masih lesu tentu para petani masih harus merasakan pedasnya lombok.