Setiap Rabu Legi yang merupakan hari dan pasaran sakral bagi komunitas Jawa Sanyata selalu mengadakan sesembahan kepada Sang Hyang Wenanging Jagat, namun pada Rabu kemarin kami hanya bersemedi sederhana bersama beberapa tetua adat saja.Â
Lalu, penulis melanjutkan permenungan pribadi dengan menjelajahi dan menyatukan diri sebagai jagat alit dengan alam sekitar di kaldera Bromo yang saya anggap sebagai tempat di mana bisa merasakan kasih Ibu Bumi dan menyatu dengan alam semesta.
Hanya butuh waktu 10 menit sudah sampai di tengah-tengah kaldera perbatasan antara padang rumput dan hutan adasan atau adas pulowaras (foiniculum vulgare).Â
Kupetik bunga setangkai kecil buah adasan yang belum kering, kunyah dan nikmati segarnya sambil merasakan semerbak harum lembutnya padang adasan yang membuai. Lalu duduk bersila dan semedi....
Belum tiga ratus meter berjalan dari ketinggian 2105,4m ke 2111,m hembusan angin cukup keras seakan tanda akan hujan, saya pun turun kembali ke selatan sejauh 2 km saja dengan naik sepeda motor.
Tanpa data aplikasi weather ternyata dugaan saya meleset, ternyata angin justru membawa pergi sebagian mendung. Di dekat punden Watu Gedhe, sepeda motor kembali saya sembunyi di sela rerumputan setinggi  dua meter lalu tertarik mendaki sebuah tebing dengan kemiringan antara 75-85 derajat.Â
Sebuah tempat di mana kami sering 'laku semedi' bersama beberapa orang anggota komunitas. Suasana yang demikian hening, selain suara nyanyian daun-daun pinus dan cemara gunung atau sekali waktu kepak ayam hutan dan jeritan elang Jawa.
Jam 16.15 turun dan tiba di gubuk desa jam 16.40 sore.