Ada pepatah mengatakan 'sebuah foto sejuta kisah' Foto mana dan kapan pun memang menyimpan banyak kisah yang dialami oleh setiap pribadi dan komunitas yang ada dalam foto tersebut. Entah foto lama yang telah menjadi kenangan atau foto baru yang kelak menjadi kisah yang tak akan terlupakan.Â
Sebagai contoh adalah pembacaan teks proklamasi oleh Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang banyak menyimpan kisah perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Untuk mendapat foto yang dapat mengkisahkan berjuta kisah bukanlah hal yang mudah apalagi menjadi kisah yang luar biasa dalam arti bisa menggugah perasaan seseorang atau menguras emosi setiap orang yang melihatnya.Â
Entah kesedihan, kebahagiaan, kegembiraan, bahkan mengundang rasa empati terhadap orang lain atau yang masuk dalam obyek foto tersebut. Boleh dikatakan sebuah keberuntungan kala kita bisa menangkap suatu peristiwa lewat kamera.Â
Namun demikian kala peristiwa itu tertangkap kamera, belum tentu menjadi sebuah foto yang layak untuk sebuah berita.
Di sisi lain menampilkan teman korban yang selamat tanpa terluka dengan ekspresi tanpa empati terhadap korban. Tiga hari kemudian postingan tersebut terpaksa penulis hapus. Namun foto-foto tersebut masih tersimpan hingga kini.Â
0 0 0
Pepatah "satu foto berjuta kisah" di atas tentu saja tidak berlaku untuk sebuah potret yang hanya menampilkan satu obyek sekali pun dengan ekspresi yang begitu menarik dari segi teknis fotografi. Misalnya dari sudut pengambilan (angle) dan pencahayaan.
Kali ini penulis berbagi pengalaman tentang story photography atau rentetan foto (lebih dari satu foto) yang menggambarkan sebuah kejadian. Tentu saja bukan sekedar foto tetapi tetap menampilkan ekspresi wajah yang menarik serta menggambarkan sebuah sisi kehidupan manusia atau human interest. Namun demikian bisa juga menceritakan banyak kisah bagi mereka yang terekam atau terdokumentasi dalam foto tersebut.
Sang ayah yang memikirkan pendapatannya yang merosot karena si juragan juga turun pendapatan hasil dagang buah langsep yang mulai panen namun sepi pembeli. Selain itu, sang ayah juga susah menagih hutang pada teman sesama buruh tani.
Si ibu yang berjualan rujak dan nasi pecel serta minuman juga sepi pembeli karena tempat wisata alami Jenon juga ditutup untuk memutus penyebaran Covid-19. Kini yang diharapkan hanya pembeli lokal dari para petani yang bekerja di sawah sekitarnya.Â
Si anak, harus pulang ke rumahnya setelah hampir setahun ke kota bekerja di sebuah komplek pertokoan yang kini harus tutup untuk menjaga penyebaran Covid-19 pula.Â
Hal yang amat menarik mereka, yakni: ayah, ibu, dan anak dalam membicarakan bukan hanya dalam  dalam suasana serius tetapi kadang dengan nada guyonan sehingga pembicaraan mengalir dalam suasana yang tetap membawa kebahagiaan.
Sedang teknik pencahayaan dan rana bisa dikatakan sedikit diabaikan. Jarak pengambilan dari subyek antara 0.9-1,5 m saja. Penulis hanya bergeser sedikit kiri-kanan, maju-mundur, dan naik-turun atau jongkok berdiri.
Sebelum mengabadikan, penulis tidak secara khusus minta ijin tetapi mengajak berbicang santai sehingga diterima dalam suasana kekeluargaan dan kala jeprat-jepret pun mereka tak terganggu bahkan tampil apa adanya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H