Pembeli adalah raja, demikian kata pepatah. Ada harga ada rupa, pepatah lain mengatakan demikian. Sebagai pembeli, tak selalu pelanggan, saya memang sedekit cerewet jika harga yang saya bayar tidak sesuai dengan mutu yang seharusnya saya terima. Kecuali jika hanya membeli sesuatu di K5 yang harganya belasan ribu saja.Â
Rasanya kalau mau cerewet kok tidak tega. Lain lagi jika harganya ratusan ribu bahkan puluhan juta saya pasti cerewet. Apa yang saya bayarkan harus sesuai dengan promosi yang diberikan.Â
Jika tidak maka saya akan protes sampai menang. Ditolak maka menulis di surat pembaca di media cetak atau medsos untuk minta perhatian. Bukan berarti saya ingin dilayani sebagai raja. Ini pengalaman saya yang sebagian sebenarnya pernah saya tulis di K pada tahun 2012 tapi sudah hilang.
Sepuluh tahun yang lalu ketika mengambil mobil baru yang sudah keluar dokumennya di sebuah dealer, ada hal yang kurang berkenan di mobil yang baru dibeli istri penulis. Di bagian kaca belakang ditempeli stiker nama dealer.Â
Karena saat masih di showroom tak ada sticker maka saya minta kepada bagian penjualan dan mekanik untuk melepas stiker tersebut dalam waktu sepuluh menit dan tidak boleh ada goresan sama sekali dikaca.Â
Tak kalah geram saya juga menghadap pimpinan untuk tidak sembarangan memasang stiker di mobil pembeli. Itu mobil kami. Bukan mobil dealer yang bisa dijadikan sarana promosi. Mereka pun keder juga dan dengan agak gemetar mengelupas stiker!
Suatu saat saya membeli sepeda motor merek H. Buku pedoman saya baca dengan teliti untuk meminta garansi jika ada kerusakan. Â Baru setahun membeli, tangki BBM keropos dan hampir menyebabkan kebakaran mesin.Â
Saya pun protes ke dealer dan mendapat jawaban kurang mengenakkan yang mengatakan jika kelemahan sepeda motor laki-laki tangkinya mudah keropos karena air hujan atau saat dicuci bisa masuk lewat tutup tangki. Salah satu mekanik juga menyebut sepeda motor laki-laki merek lain.Â
Untuk menghindari itu maka tangki harus selalu penuh. Saya yang tidak puas dengan jawaban tersebut mengatakan tak mungkin BBM selalu penuh hla wong dipakai. Adu mulut dengan jawaban tak mengenakkan pun terjadi apalagi saya ngotot minta ganti.Â
Karena mendapat jawaban yang tak mengenakkan dan tak mendapat ganti saya pun menulis di Surat Pembaca di sebuah media cetak. Dealer pun minta klarifikasi dan tidak saya ladeni karena tidak mendapat garansi. Tangki kropos itu sampai sekarang masih saya simpan jika produsen dan dealer minta bukti.
Kaget ternyata lembaran dokumen yang saya dapat dan yang diberikan pada dealer oleh sales saya pun menuntut. Mereka balik akan mengancam saya akan dituntut. Tak peduli ancaman maka saya mempersilakan.Â
Ternyata keder juga mereka, lalu mengutus dua mekanik untuk memperbaiki dan berjanji akan memberi perawatan selama setahun. Kenyataannya tidak pernah muncul mekanik datang untuk merawat. Surat perjanjian atau dokumen ini masih saya simpan sebagai bukti membeli alat elektronik secara door to door tak ada layanan purna jual!
2017 saya yang harus membayar pesanan buku yang harganya hanya seratus ribu ternyata tak bisa dibayar secara langsung di teller bank selain lewat ATM.Â
Berhubung dalam hal ini saya gaptek maka beberapa kali saya terpaksa menerima sindirian dari penulis di medsosnya. Tak tahan disindir ganti saya menyindir bank BUMN tersebut.Â
Efeknya sungguh luar biasa, bagian costumer service dan satpam yang menolak saya didamprat pimpinan dan disuruh minta maaf. Takut dipecat (menurut mereka diancam) maka lewat komen mereka minta bertemu dengan saya. Saya menolak.Â
Ternyata dua hari kemudian mereka datang ke rumah karena alamat saya diketahui lewat istri yang juga nasabah bank tersebut. Pada akhirnya di rumah kami, semua dapat diklarifikasi bahkan kami mendapat hadiah eh cinderamata yang lumayan.Â
Masalah saya dengan bank tersebut selesai tapi tidak bagi orang lain yang menganggap saya mencari nama dan ditulis di medsosnya. Tak enak disebut demikian saya ganti melabrak seorang pejabat yang menulis di medsos dan menuntut minta maaf. Gegerlah medsos kami.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat dealine akan sebuah tulisan, seperti biasa di daerah Bromo sinyal IM3 nol sama sekali yang menyebabkan dealine terlewati selama dua jam karena harus turun gunung sejauh 45 km mencari sinyal.Â
Malam itu juga saya protes dan menanyakan yang ke sekian puluh kali lewat *123# dan my IM3 yang selalu dijawab robot dengan jawaban yang tak sesuai dengan pertanyaan. Esok harinya, saya langsung ke gerai bukan hanya protes tak ada sinyal tetapi juga jawaban dari robot sekenanya itu sungguh tak manusiawi.
Mendapat tantangan seperti ini sang costumer service mengalihkan topik jika mengalami kesulitan untuk menghubungi 185 yang dijawab langsung bukan robot. Saya cuma garuk kepala mendapat jawaban seperti ini, bagaimana mungkin bisa menghubungi nomer itu jika tak ada sinyal?
Ingin rasanya marah untung saja si costumer service orangnya imut dan manis. Jadi mau marah ga tega walau saya sering dirugikan. Apalagi pernah beli hape secara bundling ternyata pulsa data hanya berjalan 3 bulan dari setahun seperti yang dijanjikan.
Konsumen adalah raja? Bisa juga. Tetapi pengusaha atau penjual adalah penguasa dan mungkin diktator. Â
Catatan:
Mesin cuci yang mangkrak dan tangki sepeda motor masih saya simpan termasuk dokumen-dokumennya sebagai bukti bahwa pernah tidak dilayani serius sebagai konsumen. Mau kuposting nanti malah jadi iklan gratis. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H