Ada dua hal yang tetap saya lakukan di tengah gencarnya serbuan Covid-19 yang membuat seluruh dunia harus berdiam diri di dalam rumah untuk mencegah penyebaran virus mematikan ini, pertama tetap harus ke sawah untuk memanen sayur.Â
Panen sayur tak mungkin dihentikan bukan karena petani pemilik lahan saja yang rugi tetapi juga tetapi buruh tani, pedagang pengepul, pedagang eceran, para pemilik kendaraan yang biasa mengangkut sayur, dan yang tak kalah pentingnya bisa menjadi kelangkaan sayur yang menyebabkan kenaikan harga dan tentu saja akan memberatkan konsumen.
Kedua, selama perjalanan menuju ke sawah dan pulang  dari sawah sambil mengamati lingkungan hidup terutama menyangkut keberadaan air. Tentu saja semua harus saya lakukan sesuai dengan anjuran pemerintah dengan tetap menjaga jarak dengan semua orang termasuk para pemetik sayur dan tidak menggunakan transportasi umum selain menggunakan sepeda pancal alias gowes.
Sekalipun beberapa kali saya menulis tentang air dan sungai namun tak akan bosan mengajak untuk mengubah gaya hidup yang mencampakkan sungai yang dulunya merupakan sumber kehidupan kini lebih banyak berubah menjadi saluran pembuangan limbah. Bukan hanya di kota tetapi juga di pedesaan dan pelosok.  Tentu saja hal ini sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup semua mahluk hidup yang hidupnya di sekitar sungai dan yang paling mengerikan adalah terjadinya perubahan iklim yang tidak kita kehendaki.
Sorotan penulis kali ini hanya pada tiga sungai yakni Bango, Kalisari, dan Amprong serta saluran irigasi  di sekitarnya yang melintas di wilayah perbatasan timur kota dan kabupaten Malang yang hanya berjarak sekitar 750 m saja dari rumah namun yang penulis amati sepanjang 12 km. Â
Kali Bango yang bermataair di sekitar wilayah pegunungan Bromo yang ada di timur laut Malang merupakan salah satu anak sungai Kali Brantas dengan debit air di atas 4.000 m kubik perdetik (data sebenarnya hanya perkiraan berdasarkan penjelasan petugas pos pantau karena tidak tercatat). Tepat di perbatasan timur kota dan kabupaten Malang Kali Bango dibelah dengan sebuah Dam Kalisari menjadi dua yakni Kali Bango dan Kalisari.Â
Keunikan Kalisari adalah sekitar 750m selatan dari dam, Kalisari melintas di atas Kali Bango lewat sebuah bangunan talang dari beton sehingga kali atau saluran ini disebut Kali Tumpuk atau Kali Talang. Serta di bawah Kali Talang merupakan tempat bertemunya Kali Wendit dan Kali Bango (Jawa: daerah tempuran). Â Kali Wendit yang bersumber dari Sumber Widodaren merupakan salah satu mataair yang disakralkan oleh masyarakat Suku Tengger karena awalnya bersumber dari kaki Gunung Bromo.
Dam Kalisari dibangun pada masa kolonial untuk saluran irigasi dan mencegah meluapnya air atau banjir kala debit air Kali Bango naik drastis karena hujan di daerah hulu. Kalisari yang panjangnya tak lebih dari 7km ini manjadi salah satu saluran irigasi yang indah dengan hutan bambu di sebelah baratnya yang menjadi habitat burung tengkek, ayam hutan, biawak, dan udang air tawar.Â
Dari titik awal dari dam hingga 1,5 km Kalisari masih cukup bersih namun bukan berarti sehat, setiap hari dijadikan tempat memancing ikan. Namun setelah wilayah tersebut, Kalisari yang berada di sisi barat Dukuh Jabon Desa Mangliawan, Desa Sawojajar dan Desa Lesan Puro airnya semakin kotor dan semakin tidak sehat karena Kalisari menjadi tempat pembuangan air limbah rumah tangga serta sampah oleh sebagian masyarakat yang belum paham arti kebersihan dan kesehatan lingkungan. Padahal di beberapa titik dijadikan tempat mandi dan cuci kecuali kakus serta dibangun beberapa kolam pemancingan yang meningkatkan perekonomian masyarakat.