Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pria-pria Tangguh Pemanjat Pohon Kelapa

26 Januari 2020   15:52 Diperbarui: 27 Januari 2020   03:12 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu masih menunjukkan jam 6 pagi. Langit pun masih cukup redup dengan sisa mendung yang masih menggelayut tak merata menutupi matahari. 

Cuaca pun cukup dingin. Pematang sawah yang basah tersiram hujan lebat semalaman semakin menambah dingin telapak kaki yang harus melewati menuju sawah untuk bekerja.

Buadi, Buari, Buamin, dan Buasan sebut saja nama mereka demikian, empat pria di Desa Candi Puro, Lumajang sudah harus ke sawah untuk menjalankan tugas sebagai seorang pria yang harus mencari nafkah demi keluarga. 

Mereka adalah para petani kecil dengan lahan yang luasnya tak lebih dari setengah hektare yang hasilnya sekali panen tak mungkin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Periuk harus tetap di atas tungku. Asap dapur harus tetap mengepul. Perut tak mungkin tanpa sesuap nasi. Maka mereka harus bekerja sesuai dengan ketrampilan yang mereka punyai secara alami sebagai seorang petani.

Desa Candi Puro, Kabupaten Lumajang yang berada di tenggara Gunung Semeru merupakan wilayah yang subur gemah ripah loh jinawi selain penghasil padi di sana juga dikenal sebagai penghasil gula merah dari air hasil deresan bunga kelapa atau manggar. Buadi, Buari, Buamin, dan Buasan adalah bagian dari ratusan para penderes air kelapa. 

Ada yang sebagai buruh penderes dari para pembuat gula merah kelapa tetapi ada juga memang menderes untuk usaha mereka sendiri memroduksi gula merah.  

Siap... Dokpri
Siap... Dokpri
Panjat! Dokpri
Panjat! Dokpri
Eits....hati-hati Mas! Dokpri
Eits....hati-hati Mas! Dokpri
Lumayan. Hari ini dapat 30 liter. Dokpri
Lumayan. Hari ini dapat 30 liter. Dokpri
Misalnya Buadi dan Buari yang hanya sebagai buruh, setiap pagi antara jam 6-8 mereka harus memanjat paling tidak 20 pohon untuk mendapat sekitar 10 liter air kelapa yang bisa untuk membuat gula kelapa 6-7 kg. 

Sebagai ongkos menderes mereka menerima upah sekitar 25% dari harga gula merah di tingkat petani.

Jika harga gula merah kelapa per kg Rp15.000,- maka mereka mendapat 15.000 x 7 x 25% = 26.250 atau dibulatkan menjadi 26.500 rupiah! Sedikit sekali? Ya, karena mereka bekerja tak lebih dari dua jam saja. 

Di atas jam 8 pagi, air deresan atau sadapan yang ditampung  di kaleng plastik atau jurigen bisa sedikit membeku atau mengeras dan mungkin akan disantap atau kemasukan binatang liar. Entah lalat buah, serangga, bahkan bisa juga tupai yang haus.  

Produsen gula merah pun belum tentu pemilik lahan atau pohon kelapa, ada juga yang menyewa pohon kelapa per enam bulan pada pemilik lahan dengan harga sesuai dengan permintaan pasar. 

Dihitung per enam bulan karena disesuaikan dengan musim di negeri kita, yakni musim penghujan di mana air deresan atau sadapan melimpah dan musim kemarau di mana air sadapan berkurang.

Bagi produsen yang menyewa pohon kelapa sendiri atau bahkan memiliki lahan sendiri tentu lebih menguntungkan. Karena tak terlalu banyak mengeluarkan beaya produksi yang besar sehingga kehidupannya lebih sejahtera.

Sebut saja, Buasan yang memiliki sawah yang pematangnya ditanami pohon kelapa sebanyak 12 pohon dan menyewa 10 pohon kelapa tetangganya. Setiap pagi ia harus bertaruh nyawa untuk memanjat 22 pohon kelapa. 

Istirahat dulu ah. Dokpri
Istirahat dulu ah. Dokpri
Bersama sang kekasih hati membuat gula merah. Dokpri
Bersama sang kekasih hati membuat gula merah. Dokpri
Pemanjat lainnya. Dokpri
Pemanjat lainnya. Dokpri
Dokpri
Dokpri
Musim penghujan adalah musim di mana para pemanjat harus lebih berhati-hati. Bukan hanya batang pohon kelapa yang licin karena air hujan tetapi juga pematang dengan rumput yang basah atau dengan lumpur licin sehingga telapak kaki sulit kering dan sangat berbahaya untuk memanjat. 

Apalagi ketinggian pohon kelapa paling rendah sekitar 8m dan yang paling tinggi ada yang mencapai 25m! Maka lengah sedikit sesuatu yang sungguh mengerikan bakal terjadi.

Adakah di antara mereka yang jatuh? Sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh pula. Demikian juga manusia yang kadang lalai. Tak dipungkiri jatuh dengan luka berat dan bahkan kematian bukanlah berita yang mengejutkan.

Tak ada pilihan lain, kata salah satu di antara para pemanjat. Setiap pekerjaan selalu mempunyai resiko yang harus ditanggung. Upah sedikit atau dengan bahasa halus tak terlalu besar karena memang jam kerja yang tak lama harus diterima.

Selesai memanjat mereka bisa juga bekerja yang lain. Tetap sebagai buruh tani. Entah pencari rumput, pembersih lahan, pemetik kelapa yang tua, atau pemecah kelapa, pembuat batu merah, pembajak sawah, dan masih banyak lagi. 

Walau upah yang diterima pun juga tak besar hanya sekitar enam puluh lima ribu rupiah sesuai dengan pekerjaan mereka.    

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Malu difoto. Dokpri
Malu difoto. Dokpri
Berani? Dokpri
Berani? Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun