Produsen gula merah pun belum tentu pemilik lahan atau pohon kelapa, ada juga yang menyewa pohon kelapa per enam bulan pada pemilik lahan dengan harga sesuai dengan permintaan pasar.Â
Dihitung per enam bulan karena disesuaikan dengan musim di negeri kita, yakni musim penghujan di mana air deresan atau sadapan melimpah dan musim kemarau di mana air sadapan berkurang.
Bagi produsen yang menyewa pohon kelapa sendiri atau bahkan memiliki lahan sendiri tentu lebih menguntungkan. Karena tak terlalu banyak mengeluarkan beaya produksi yang besar sehingga kehidupannya lebih sejahtera.
Sebut saja, Buasan yang memiliki sawah yang pematangnya ditanami pohon kelapa sebanyak 12 pohon dan menyewa 10 pohon kelapa tetangganya. Setiap pagi ia harus bertaruh nyawa untuk memanjat 22 pohon kelapa.Â
Apalagi ketinggian pohon kelapa paling rendah sekitar 8m dan yang paling tinggi ada yang mencapai 25m! Maka lengah sedikit sesuatu yang sungguh mengerikan bakal terjadi.
Adakah di antara mereka yang jatuh? Sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh pula. Demikian juga manusia yang kadang lalai. Tak dipungkiri jatuh dengan luka berat dan bahkan kematian bukanlah berita yang mengejutkan.
Tak ada pilihan lain, kata salah satu di antara para pemanjat. Setiap pekerjaan selalu mempunyai resiko yang harus ditanggung. Upah sedikit atau dengan bahasa halus tak terlalu besar karena memang jam kerja yang tak lama harus diterima.
Selesai memanjat mereka bisa juga bekerja yang lain. Tetap sebagai buruh tani. Entah pencari rumput, pembersih lahan, pemetik kelapa yang tua, atau pemecah kelapa, pembuat batu merah, pembajak sawah, dan masih banyak lagi.Â
Walau upah yang diterima pun juga tak besar hanya sekitar enam puluh lima ribu rupiah sesuai dengan pekerjaan mereka. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H