Waktu masih menunjukkan jam 6 pagi. Langit pun masih cukup redup dengan sisa mendung yang masih menggelayut tak merata menutupi matahari.Â
Cuaca pun cukup dingin. Pematang sawah yang basah tersiram hujan lebat semalaman semakin menambah dingin telapak kaki yang harus melewati menuju sawah untuk bekerja.
Buadi, Buari, Buamin, dan Buasan sebut saja nama mereka demikian, empat pria di Desa Candi Puro, Lumajang sudah harus ke sawah untuk menjalankan tugas sebagai seorang pria yang harus mencari nafkah demi keluarga.Â
Mereka adalah para petani kecil dengan lahan yang luasnya tak lebih dari setengah hektare yang hasilnya sekali panen tak mungkin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Periuk harus tetap di atas tungku. Asap dapur harus tetap mengepul. Perut tak mungkin tanpa sesuap nasi. Maka mereka harus bekerja sesuai dengan ketrampilan yang mereka punyai secara alami sebagai seorang petani.
Desa Candi Puro, Kabupaten Lumajang yang berada di tenggara Gunung Semeru merupakan wilayah yang subur gemah ripah loh jinawi selain penghasil padi di sana juga dikenal sebagai penghasil gula merah dari air hasil deresan bunga kelapa atau manggar. Buadi, Buari, Buamin, dan Buasan adalah bagian dari ratusan para penderes air kelapa.Â
Ada yang sebagai buruh penderes dari para pembuat gula merah kelapa tetapi ada juga memang menderes untuk usaha mereka sendiri memroduksi gula merah. Â
Sebagai ongkos menderes mereka menerima upah sekitar 25% dari harga gula merah di tingkat petani.
Jika harga gula merah kelapa per kg Rp15.000,- maka mereka mendapat 15.000 x 7 x 25% = 26.250 atau dibulatkan menjadi 26.500 rupiah! Sedikit sekali? Ya, karena mereka bekerja tak lebih dari dua jam saja.Â
Di atas jam 8 pagi, air deresan atau sadapan yang ditampung  di kaleng plastik atau jurigen bisa sedikit membeku atau mengeras dan mungkin akan disantap atau kemasukan binatang liar. Entah lalat buah, serangga, bahkan bisa juga tupai yang haus. Â