Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senyum Manis Seorang Wanita Pemulung

17 Januari 2020   13:03 Diperbarui: 17 Januari 2020   22:19 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu masih menunjukkan jam 6.30 pagi ketika saya sudah berada di depan Seminari Tinggi SVD Surya Wacana, Malang. Cuaca pun amat cerah walau masih ada sedikit gumpalan mendung  sisa gerimis yang mengguyur semalaman. Udara yang segar membuat perjalanan gowes yang hanya kurang dari 8km saja tak terasa melelahkan. 

Sambil menunggu waktu untuk bermain bulutangkis bersama dengan para frater (calon imam) yang sedang merayakan HUT seminari tempat mereka menempuh pendidikan sebagai persiapan untuk menjadi seorang misionaris, saya melakukan pemanasan di luar halaman depan.

Kala sedang sedikit menggerak raga, tampak seorang wanita sebaya saya sedang berjalan pelan dengan sedikit tertatih karena beban berat yang harus disunggi di atas kepalanya. Ia tersenyum malu ketika saya menyapa, memotret, lalu sedikit mengajaknya berbincang.

Panggil saja namanya Bu Waton, seorang pemulung di sekitar perumahan kelas menengah dan kelas atas daerah Tidar dan Dieng yang dulu merupakan bentangan sawah dan ladang yang subur. 

Tempat habitat burung cucak ijo dan kalong (sejenis kelelawar besar) pemakan buah karena di daerah tersebut sebagian juga merupakan hutan jambu milik penduduk. 

Sebelum tahun 90an, Bu Waton adalah buruh tani, namun perubahan lingkungan ladang dan sawah menjadi pemukiman turut mengubah nasibnya menjadi seorang pemulung sampah di daerah perumahan tersebut.

Nasib si kecil dalam arti luas memang sulit bersaing dan malah agak tergantung pada lingkungan.Pernah ada keinginan menjadi seorang ART, tetapi bekerja bebas lebih ia sukai sekali pun sehari hanya mendapat tak lebih dari 50 ribu rupiah.

Si Kecil yang tersenyum indah walau tak diperhatikan. Dokumen pribadi
Si Kecil yang tersenyum indah walau tak diperhatikan. Dokumen pribadi
Beban berat di kepalanya bukanlah sebuah penderitaan, katanya, hanya sebuah tanggungjawab yang harus diangkat untuk tetap bertahan hidup di lingkungan yang dulu merupakan surga. 

Lingkungan tempat tinggalnya, Desa Duwet, yang dulu begitu ramah kini menjadi sebuah perkampungan besar di antara perumahan kelas menengah dan kelas atas. 

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Penduduknya pun lebih majemuk yang terpengaruh kehidupan masa kini, kurang saling mengenal dan berkomunikasi secara verbal selain dengan kata-kata di media sosial. Maka ia pun lebih diketahui sebagai seorang pemulung daripada dikenal sebagai seorang pribadi.

Bu Waton hanyalah salah satu dari manusia-manusia tradisional yang tersisih jaman dan keadaan. Seperti kebun-kebun kecil yang hanya penuh semak atau rumpun bambu yang tersisa dan harus pasrah ketika tergusur.

Namun Bu Waton tetap menunjukkan keceriaannya seperti bunga rumput mungil  berwarna  kuning yang mekar sendiri di bawah pohon ketapang di tepi jalan depan Seminari Tinggi SVD Surya Wacana.

Lahan tersisa tepat di sebelah seminari, sedang diratakan untuk pembangunan sebuah kluster. Dokpri
Lahan tersisa tepat di sebelah seminari, sedang diratakan untuk pembangunan sebuah kluster. Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun