Waktu masih menunjukkan jam 6.30 pagi ketika saya sudah berada di depan Seminari Tinggi SVD Surya Wacana, Malang. Cuaca pun amat cerah walau masih ada sedikit gumpalan mendung  sisa gerimis yang mengguyur semalaman. Udara yang segar membuat perjalanan gowes yang hanya kurang dari 8km saja tak terasa melelahkan.Â
Sambil menunggu waktu untuk bermain bulutangkis bersama dengan para frater (calon imam) yang sedang merayakan HUT seminari tempat mereka menempuh pendidikan sebagai persiapan untuk menjadi seorang misionaris, saya melakukan pemanasan di luar halaman depan.
Kala sedang sedikit menggerak raga, tampak seorang wanita sebaya saya sedang berjalan pelan dengan sedikit tertatih karena beban berat yang harus disunggi di atas kepalanya. Ia tersenyum malu ketika saya menyapa, memotret, lalu sedikit mengajaknya berbincang.
Panggil saja namanya Bu Waton, seorang pemulung di sekitar perumahan kelas menengah dan kelas atas daerah Tidar dan Dieng yang dulu merupakan bentangan sawah dan ladang yang subur.Â
Tempat habitat burung cucak ijo dan kalong (sejenis kelelawar besar) pemakan buah karena di daerah tersebut sebagian juga merupakan hutan jambu milik penduduk.Â
Sebelum tahun 90an, Bu Waton adalah buruh tani, namun perubahan lingkungan ladang dan sawah menjadi pemukiman turut mengubah nasibnya menjadi seorang pemulung sampah di daerah perumahan tersebut.
Nasib si kecil dalam arti luas memang sulit bersaing dan malah agak tergantung pada lingkungan.Pernah ada keinginan menjadi seorang ART, tetapi bekerja bebas lebih ia sukai sekali pun sehari hanya mendapat tak lebih dari 50 ribu rupiah.
Lingkungan tempat tinggalnya, Desa Duwet, yang dulu begitu ramah kini menjadi sebuah perkampungan besar di antara perumahan kelas menengah dan kelas atas.Â
Bu Waton hanyalah salah satu dari manusia-manusia tradisional yang tersisih jaman dan keadaan. Seperti kebun-kebun kecil yang hanya penuh semak atau rumpun bambu yang tersisa dan harus pasrah ketika tergusur.