Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kala Hujan Turun

5 Januari 2020   18:01 Diperbarui: 5 Januari 2020   18:01 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan kau sesali jika hujan turun. Jangan kau jengkel karena hujan turun. Jangan kau kecewa jika hujan turun. Walau baju dan celanamu jadi basah. Kemudian kau jadi masuk angin, sakit kepala, dan selesma.

Rasakanlah nikmatnya hujan. Resapilah indahnya hujan. Maka kau akan merasakan betapa Sang Maha Kuasa begitu mengasihi dirimu dengan curah hujan. 

Lihat dua anak ini tetap bergembira dalam hujan. Tak peduli makanan yang dipegangnya menjadi basah dan tawar. Tak peduli dingin atau ada guntur yang menggelegar. Mereka tetap tersenyum. Bahkan tertawa. Bukankah dirimu lebih dari anak-anak? Bergembiralah saat hujan. Tapi jangan bergembira melihat orang kehujanan.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Lihatlah dua ibu ini. Mereka terus berjalan di tengah guyuran hujan. Tanpa payung tanpa jas hujan. Mereka menikmati indahnya hujan. Tak ada langkah gontai sekali pun kadang guntur menggelegar dan petir menyapa dengan kilatannya yang membahana. 

Mereka tak peduli apakah nanti akan masuk angin atau sakit kepala. Mereka terus melangkah ingin segera sampai di rumah berkumpul bersama keluarga merayakan indahnya hari Sabtu. Ya hari Sabtu merupakan hari bahagia bagi mereka yang bekerja sebagai buruh pabrik karena saat ini mereka menerima upah mingguan. Betapa bahagianya mereka.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
dokpri
dokpri
Lihatlah seorang lelaki senja yang sedang menjajakan es lilin dagangannya. Ia terus melangkah walau rintik hujan belum reda. Tangannya terus mengayunkan lonceng kuningan tanda es lilin dagangannya masih tersedia. Tak peduli jalan sepi pejalan kaki. Tak peduli hari dingin terus menerpa raga. Tak peduli tak ada pembeli. Baginya hujan atau tidak ia terus berjalan menawarkan es lilin yang semakin dingin di dalam termos. Kling....kling....kling....es..es... serunya lembut ditelan deru motor mobil yang saling bersautan. 

Lihatlah pencari rumput di tengah kaldera Bromo yang terjebak di banjir lumpur dan lahar dingin bagaikan bubur merah di kuali alam. Tak pernah mereka mengeluh atau takut disambar petir yang bersautan. Bersyukurlah ada tiga orang Kompasianer yang sedang lewat dan mau membantu mengangkat sepeda motornya yang terbebani sekarung rumput.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
dokpri
dokpri
Aku memang pernah kuatir dan takut saat hujan. Takut rumahku yang di pinggir hutan diterjang banjir bandang karena bukit di belakang rumah longsor. Atau dihantam air bah karena hujan deras tiada henti  seharian. 

Juga kuatir saat mengajar olahraga setelah hujan, ada siswa yang terpeleset lalu jatuh dan terluka. Pasti orangtuanya akan protes. Padahal anak-anak juga suka bermain saat hujan. 

Aku juga pernah sedih dan kuatir saat hujan turun dengan lebat karena pada saat itu sedang mendapat job foto persiapan pernikahan. Tiba-tiba saja saat siraman hujan deras mengguyur tiada ampun. Tak ayal semua yang ikut ritual ikut basah kuyub seperti calon pengantin. 

Aku sedih dan kuatir bukan karena mereka kehujanan. Tetapi kuatir kameraku yang kehujanan! Gawat....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun