Selesai membayar pajak kendaraan di salah satu center point di sebuah mall dan menemani istri toning rambut, saya sekedar jalan-jalan melihat dan menikmati suasana dalam mall. Agak kikuk juga, ternyata para SPG cantik juga menawarkan dagangannya layaknya di pasar tradisional. Karena tak ada niat membeli, saya cuma membalas dengan senyuman. Sedang pengunjung yang lain cuek bebek.
Di salah satu sudut, saya sengaja bersandar di sebuah tiang dan kadang di pagar, sambil jeprat-jepret moment yang menarik. Penataan ruangan dan lampu yang demikian menarik sehingga tercipta suasana yang cukup megah, menurut ukuran saya, toh sebentar saja sudah membuat bosan. Apalagi tampak pengunjung boleh dikatakan sepi. Tentu saja pembeli juga lebih sepi.
Hampir 30 menit bersandar, stand-stand yang ada di sekitarku hanya satu dua yang masuk untuk sekedar melihat  atau bertanya. Tak tampak ada yang membeli. Apakah ini karena hari biasa dan masih sore, sekitar jam 18.30 atau memang keadaan telah berubah di mana konsumen lebih senang belanja online.
Beberapa karyawan-karyawati sibuk dengan gawainya, namun ada juga yang tetap berdiri sambil menebarkan senyum mengundang konsumen. Tampak pula ada yang menundukkan kepala menahan kantuk atau kebosanan.
Bosan di dalam ruangan, saya pun keluar menuju tempat parkir untuk melihat suasana yang lebih terbuka. Jika di dalam mall cahaya lampu demikian benderang, di luar cukup temaram. Apalagi pepohonan sebagai penghijauan demikian rimbun.
Sekitar 10m dekat pintu parkir sepeda motor, seorang perantau dari Kalimantan sedang mengamen dengan memainkan Japen, sebuah alat musik tradisional Kalimantan. Sekitar 10m sebelah kanannya tampak seorang difabel dengan tangan dan kaki yang pendek, sedang duduk (berdiri) dengan sebuah kaleng bekas cat ditaruh di depannya untuk menampung uang belas kasih mereka yang lewat. Tampak istrinya tiduran di atas tikar di belakangnya. Di sebelah kiri si perantau yang mengamen, seorang penjual cilok yang juga ditemani istrinya tampak dengan agak ngantuk menunggu mereka yang keluar dari mall untuk membelinya.
Kala kuajak bicara tentang pendapatannya, si difabel ini hanya tersenyum dan tak tampak suatu penyesalan ketika kuberitahu si perantau ini mendapat lebih dari tiga puluh ribu. "Mungkin karena dia memainkan alat musik dan berpenampilan beda," kataku. Si difabel ini menggelengkan kepala dengan tersenyum kembali sambil memberitahu bahwa ia pernah juga mendapat lebih dari seratus ribu. Tetapi juga pernah hanya mendapat lima ribu sehari.
Setelah berbicang dengan si difabel ini, kebetulan istri juga sudah datang, kami membeli cilok sambil sedikit berbincang. Sehari ini ia merasa bersyukur walau seharian hanya mendapat sekitar 65 ribu rupiah belum termasuk pengeluaran. "Banyak saingan Mas..." katanya lirih. Di sekitar tempat parkir dalam memang ada sekitar lima pedagang yang berjualan makanan sejenis.
Hidup harus terus dijalani dengan penuh perjuangan sekecil dan seberat apa pun. Entah bagi karyawan dan para pedagang kecil. Juga bagi para pemilik modal yang kadang dianggap sebagai kaum kapitalis. Padahal mereka juga harus berpikir agar usaha terus berkembang menghindari kerugian apalagi kebangkrutan sehingga tidak sampai terjadi pengurangan atau pemecatan tenaga kerja.