Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereka Terkapar di Lumbung Padi Negeri Ini

12 Desember 2019   14:07 Diperbarui: 13 Desember 2019   03:45 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan kayu jadi tanaman

Itulah cuplikan sebagian syair lagu ciptaan dan lantunan Koes Plus di pertengahan tahun 70-an. Sebuah lagu sederhana, indah, dan menggambarkan kenyataan sebenarnya bahwa negeri kita subur makmur gemah ripah loh jinawi. Tetapi kenyataan "tata tentrem kertaraharja" masih menjadi sebuah angan. Hidup damai dalam kesejahteraan masih belum merata. 

Tidaklah tepat jika hanya menyalahkan pemerintah, sekali pun kenyataan bahwa aparat dan pejabat masih terkungkung kehidupan mementingkan diri sendiri. Kurang peduli bahkan tak peduli kehidupan yang lain. 

Mental miskin dan selalu merasa kurang dengan yang dimiliki dan terus berusaha meraih yang lebih dengan cara tidak adil. Peduli amat dengan mereka yang susah. Itu adalah nasibmu.

Ayam kelaparan dan mati di lumbung padi.

Suatu siang, saya gowes ke pusat kota untuk melihat dan merasakan suasana gerah di akhir musim kemarau. Di alun-alun Malang, terlihat empat sosok insan dengan pakaian lusuh cenderung compaing-camping dan kotor tertidur pulas di kursi beton. 

Mereka cukup berjauhan jaraknya. Di sebelah barat dua sosok wanita lansia, di pojok selatan seorang pria lansia. Dan sosok wanita lansia lainnya di sebelah timur.

Bukanlah hal yang sulit untuk menemui mereka, sebab kadang mereka tidur di emperan pertokoan yang sepi, di bawah jembatan, atau di sudut sebuah pertikungan jalan. 

Mengajak mereka berbincang pun bukanlah hal yang sulit sebab mereka cukup terbuka daripada pengemis yang ada di depan masjid. Sebab mereka kebanyakan pengemis gadungan yang menyalahgunakan keadaan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dari perbincangan, mereka adalah kaum tuna wisma yang sudah tidak mempunyai keluarga. Ada yang tinggal mati pasangannya sedang anaknya merantau tak kunjung kabar dan pulang sedang rumah tak punya. Menyewa pun tak mampu.

Mau ikut kerabat yang hidupnya pas-pasan merasa terlalu membebani. Akhirnya memutuskan diri hidup menggelandang. Keperluan makan dan pakaian hanya berharap belas kasihan pada mereka yang peduli. Tidak setiap hari ada yang peduli. Maka menerima nasib tanpa mau mengemis dan lebih baik mengais di tempat sampah mereka merasa lebih terhormat.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Suatu hari pula, saya gowes menyusuri Kali Amprong yang menjadi batas kota dan kabupaten Malang di sisi timur. Siang yang menyengat, di bawah tapal batas pinggir Kali Amprong, seorang tuna wisma tertidur pulas di badukan.

Semilirnya angin dari rumpun bambu dan pohon trembesi yang teduh serta gemerciknya aliran air sungai, rupanya begitu membuainya dalam mimpi indah kehidupan yang pernah ingin ia raih. 

Sesekali tersungging senyuman dan ucapan lembut yang tak terdengar namun tangannya meremas perut kerempengnya yang tampak kekurangan asupan.

Ia seorang perantau tanpa bekal dan keterampilan yang sedang mengadu nasib demi keluarga, namun tersesat di belantara ketidakpedulian hidup di kota. Pulang malu tidak pulang rindu. Sebuah pepatah seperti yang tertulis di bak truk atau praoto.

Ia pun memilih tidak pulang sambil terus menyusuri jalanan dengan membawa sebuah ilusi di benaknya yang kadang membuatnya tersenyum atau kadang sedih bahkan kadang curiga kepada mereka yang dijumpai, karena pengalaman pernah dianggap mau mengutil sebuah barang ketika ia berusaha menjadi pemulung lalu dikejar dan digebugi.

Kaldera Bromo, 2018
Selesai persiapan Kasada, saya istirahat merasakan buaian angin yang deras di teriknya mentari yang amat menyengat. Para peserta dan dukun adat sudah meninggalkan Pura Watu Gedhe dan kembali ke Pura Poten.

Sayur mayur sebagai sesaji yang menumpuk di bawah altar pun mulai diambil agar pura kembali bersih. Sayur di buang di bawah tembok dan sebelah pura.

Sambil terus menyepi dan berdoa, tampak seorang wanita yang juga ikut dan melihat dari jauh, mendekati tumpukan sayur sesaji yang telah dibuang. Diambilnya lalu dimasukkan tas dan di bawah pulang.

Dalam perjalanan pulang, di daerah Pasir Berbisik yang hiruk pikuk mobil dan motor wisatawan, suasana terasa semakin gerah dan menyengat apalagi debu-debu pasir beterbangan menyelimuti kaldera yang elok.

Dalam kegundahan ritual yang sakral menjadi seremonial yang gemuruh namun jauh dari nilai lesejatian hidup, tampak seorang wanita terkapar dalam sakratulmaut di sebelah tempat sampah di tanah yang subur. Wanita tersebut meninggal di depan saya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Upacara Karo 2018 di Desa Ngadas
Jam satu siang, ritual mengembalikan arwah ke swargaloka dalam Upacara Karo telah selesai. Namun hati ini masih mengikat kami untuk tetap berada di pekuburan mengenang para leluhur kami yang telah menyiapkan tanah subur bagi kami para warga masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharjo. Tanah yang subur makmur tenteram dan damai. Itulah kenyataan desa kami.

Saat mata masih menerawang jauh ke puncak Maha Meru, di mana para leluhur dan para dewa berada, tampak beberapa orang dari desa tetangga, sedang memunguti sesaji berupa buah-buahan, makanan dan kue yang dianggap masih segar dan belum basi, atau minuman dan rokok yang belum digunakan. Sebuah pemandangan yang memilukan.

Daerah pegunungan tempat masyarakat Suku Tengger adalah daerah yang amat subur, seperti halnya kebanyakan wilayah di Indonesia yang merupakan lumbung pangan. Namun demikian kemiskinan masih saja ada. Gambaran peribahasa ayam mati kelaparan di lumbung padi bukanlah sebuah omong kosong.

Benarkah keangkuhan kita dan kemiskinan mental kita serta surutnya kepedulian atas lingkungan dan sesama menyebabkan semua ini terjadi?

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Mengais sesaji. Dokpri
Mengais sesaji. Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun