Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereka Terkapar di Lumbung Padi Negeri Ini

12 Desember 2019   14:07 Diperbarui: 13 Desember 2019   03:45 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau ikut kerabat yang hidupnya pas-pasan merasa terlalu membebani. Akhirnya memutuskan diri hidup menggelandang. Keperluan makan dan pakaian hanya berharap belas kasihan pada mereka yang peduli. Tidak setiap hari ada yang peduli. Maka menerima nasib tanpa mau mengemis dan lebih baik mengais di tempat sampah mereka merasa lebih terhormat.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Suatu hari pula, saya gowes menyusuri Kali Amprong yang menjadi batas kota dan kabupaten Malang di sisi timur. Siang yang menyengat, di bawah tapal batas pinggir Kali Amprong, seorang tuna wisma tertidur pulas di badukan.

Semilirnya angin dari rumpun bambu dan pohon trembesi yang teduh serta gemerciknya aliran air sungai, rupanya begitu membuainya dalam mimpi indah kehidupan yang pernah ingin ia raih. 

Sesekali tersungging senyuman dan ucapan lembut yang tak terdengar namun tangannya meremas perut kerempengnya yang tampak kekurangan asupan.

Ia seorang perantau tanpa bekal dan keterampilan yang sedang mengadu nasib demi keluarga, namun tersesat di belantara ketidakpedulian hidup di kota. Pulang malu tidak pulang rindu. Sebuah pepatah seperti yang tertulis di bak truk atau praoto.

Ia pun memilih tidak pulang sambil terus menyusuri jalanan dengan membawa sebuah ilusi di benaknya yang kadang membuatnya tersenyum atau kadang sedih bahkan kadang curiga kepada mereka yang dijumpai, karena pengalaman pernah dianggap mau mengutil sebuah barang ketika ia berusaha menjadi pemulung lalu dikejar dan digebugi.

Kaldera Bromo, 2018
Selesai persiapan Kasada, saya istirahat merasakan buaian angin yang deras di teriknya mentari yang amat menyengat. Para peserta dan dukun adat sudah meninggalkan Pura Watu Gedhe dan kembali ke Pura Poten.

Sayur mayur sebagai sesaji yang menumpuk di bawah altar pun mulai diambil agar pura kembali bersih. Sayur di buang di bawah tembok dan sebelah pura.

Sambil terus menyepi dan berdoa, tampak seorang wanita yang juga ikut dan melihat dari jauh, mendekati tumpukan sayur sesaji yang telah dibuang. Diambilnya lalu dimasukkan tas dan di bawah pulang.

Dalam perjalanan pulang, di daerah Pasir Berbisik yang hiruk pikuk mobil dan motor wisatawan, suasana terasa semakin gerah dan menyengat apalagi debu-debu pasir beterbangan menyelimuti kaldera yang elok.

Dalam kegundahan ritual yang sakral menjadi seremonial yang gemuruh namun jauh dari nilai lesejatian hidup, tampak seorang wanita terkapar dalam sakratulmaut di sebelah tempat sampah di tanah yang subur. Wanita tersebut meninggal di depan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun