Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Ngenthit" Itu Korupsi, Saya Juga Koruptor

11 Desember 2019   17:03 Diperbarui: 12 Desember 2019   15:11 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari bulir padi yang tersisa di saat panen belum usai. Dokpri

Saya kurang tahu kapan istilah korupsi dipakai dalam percakapan sehari-hari di negeri kita ini, namun pertama kali saya dengar dari siaran berita RRI pada jam 7 pagi dan saya baca dari suratkabar Kompas pada tahun 72an ketika saat itu Menteri Luar Negeri kita, Adam Malik mengatakan bahwa korupsi menjadi bagian dari budaya kita. 

Pernyataan ini menyangkut skandal korupsi yang luar biasa di tubuh Pertamina yang nyaris membuat Indonesia mendekati kebangkrutan. Tentu saja pernyataan ini bukan berarti Adam Malik, salah satu pejabat kita yang jujur, mendukung adanya korupsi tetapi lebih berarti menyindir banyak aparat dan pejabat yang melakukan korupsi.

Sebagai anak ingusan yang selalu pingin tahu, saya yang suka baca akhirnya mengetahui bahwa korupsi itu dalam bahasa Jawa sama artinya dengan 'ngenthit'. 

Ngenthit artinya memotong uang seharusnya dibelanjakan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Lalu terbayanglah ternyata saya yang masih ingusan ini juga pernah korupsi alias ngenthit. Alias seorang koruptor atau ngenthiter atau tukang ngenthit! Kok bisa?

Teringat sekitar tahun 67an ketika disuruh ibu belanja gula pasir 1kg hanya saya belikan 9ons, dan uang sisanya saya belikan permen sarsaparilla. Kala itu, belum ada orang berdagang sembako dengan sistem pengepakan. Ternyata ibu juga ngerti, karena gula yang seharusnya habis satu minggu untuk kopi bapak sudah habis untuk 6 hari. 

Saya yang diinterogasi tak dapat mengelak dan mengaku. Akibatnya langsung dicetholi. Namun ibu yang bijaksana masih memberi kepercayaan pada saya untuk belanja dengan adik, mungkin adik untuk menjaga kejujuran saya. Saya pun tak berani ngenthit.

Rupanya, nasib sial menaungi saya. Gula yang kami beli ditimbang lagi ternyata bobotnya hanya 9ons lebih sedikit. Ibu pun marah dan mengajak saya dan adik kembali ke pasar menemui pedagang langgannya. 

Merasa sebagai langganan setia, ibu menanyakan kejujuran pedagang. Argumentasi pun terjadi dan entah mengapa ibu mengambil mangkok timbangan kodok dan dilihatnya di bawahnya ada uang logam tembaga sebagai pemberat sehingga bobot gula berkurang.

Suatu hari saya diajak ibu kembali berbelanja, di antaranya membeli sayur sawi beberapa ikat. Adalah jamak kala itu di pasar tradisional membeli dengan tawar menawar, ibu saat itu menawar 5 ikat seharga tujuh belas setengah rupiah (7 ringgit) sedang pedagang minta dua puluh rupiah. Tak ada kesepakatan lalu ibu pun pergi. 

Aku yang masih berdiri di lapak pedagang sayur, melihat pedagang itu mengganti sayur yang dipilih ibu dengan sayur yang sedikit layu dan kurang segar lalu memanggil ibu kembali. Ibu yang tak tahu langsung menerima saja. Aku yang terpana lalu oleh pedagang itu diberi sebuah rambutan masam. 

Saya disuap untuk diam. Dan saya memang diam sebab tahu ibu tak akan membelikan rambutan. Sampai di rumah pun, saya tetap diam, kalau memberitahu ibu justru akan dimarahi kenapa baru memberitahu saat di rumah. Aku pilih aman walau tahu bahwa ibu dirugikan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun