Tanah yang kering tanpa akar dan pepohonan penahan, turun memenuhi lahan dan jalan di bawahnya menjadi debu yang saat hujan akan menjadi lumpur yang bisa saja mengubah menjadi banjir bandang. Miris
Sedemikian parahkah kerusakan lingkungan kita?Â
Foto-foto di atas memang saya ambil di wilayah masyarakat Suku Tengger terutama di Desa Ngadas, Kabupaten Malang dan Desa Ranu Pani, Kabupaten Lumajang, serta Desa Sumber Brantas dan Bumiaji, Kota Batu (termasuk Malang Raya), namun juga terjadi tempat lain sekali pun taraf kerusakannya berbeda.Â
Misalnya daerah Bandungan di Ambarawa atau juga daerah dataran tinggi Dieng yang pernah dikunjungi penulis.
Sehingga untuk menaikkan produktifitas pertanian dengan memacu pemakaian pestisida dan sejenisnya serta pupuk yang tidak tepat dan bijaksana serta pembukaan lahan baru dari  hutan rakyat menjadi lahan pertanian (deforestasi).
Usaha menaikkan hasil pertanian demi memenuhi kebutuhan (swasembada) pangan semacam ini di negeri kita memang telah terjadi sejak awal tahun 70-an.Â
Pemerintah saat itu mengacu pada sebuah konsep Norman Ernest Borlaug, seorang biologist dan agronom yang mencanangkan Gerakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pangan atau karbohidrat seperti gandum dan padi. (Sumber: wikipedia).Â
Namun di Indonesia dikembangkan bukan hanya  pada produksi pangan (karbohidrat) tetapi juga sayur dan komuditas pertanian lainnya.Â
Salah satunya dengan pemakaian pupuk dan pestisida secara optimal yang justru menyebabkan tanah menjadi terdegradasi dan jenuh serta munculnya hama baru yang resisten terhadap pestisida. (Sumber: wikipedia)