Dalam sebuah kesempatan persiapan gelar seni dan budaya, seorang pejabat mengutarakan niatnya memanggil seorang dalang wayang kulit ternama untuk menarik perhatian masyarakat untuk menontonnya. Anggaran yang cukup besar pun dijlentrehkan. Sebuah ide yang menarik.Â
Sebagai undangan saya pun melontarkan beberapa pertanyaan 'Apakah hanya sekedar untuk menarik perhatian masyarakat untuk menonton lalu harus mendatangkan seorang seniman ternama?' 'Kapan memberi kesempatan seniman lokal menampilkan diri di depan warganya sendiri?' 'Bukankah anggaran yang besar untuk mendatangkan seniman nasional bisa diberikan secara merata kepada beberapa seniman lokal?'Â
Apalagi memanggil seniman tradisional nasional atau artis nasional pun harus dengan kru serta akomodasi yang memadai sesuai dengan kehidupan mereka.
Pengalaman kami, mendatangkan seniman dan artis tingkat nasional sekali pun untuk sebuah kegiatan sosial atau amal dengan tarif yang di bawah standart ternyata beaya akomodasi dan transportasi masih tinggi.Â
Hitung-hitung beaya yang dikeluarkan tanpa menghitung tenaga panitia yang sukarela dengan pendapatan termasuk iklan selisihnya amat pas-pasan. Sejak saat itulah kami lebih senang mendatangkan artis lokal.
Seniman lokal bukanlah seniman professional yang menggantungkan hidup sepenuhnya dengan dari pendapatan penampilannya.Â
Seniman lokal masih bekutat dengan perjuangan dengan profesi mereka masing-masing yang beraneka ragam seperti satpam, tukang becak, pemulung, petani, tukang kayu dan batu, SPG, karyawan toko, asisten rumah tangga, penjaga atau juru kunci makam.Â
Tak dipungkiri ada juga dari kalangan akademisi, guru, Â dan ASN serta kaum profesional kelas menengah seperti dokter dan jaksa. Mereka inilah yang secara sukarela memberi dukungan moral, memberi dana, dan kesempatan untuk tampil di lingkungan kerja mereka bagi para seniman lokal.Â
Bukan sekedar tampil di jalanan sebagai pengamen untuk mempertahankan hidup mereka. Jumlah honor yang diterima bukan menjadi pertimbangan pertama apalagi utama.Â
Sebagai contoh, seorang penari, panjak, dan sinden ketika tampil di tingkat desa paling banter akan menerima honor sebesar seratus ribu rupiah sekedar untuk sewa pakaian atau beaya tata rias.Â
Jika yang punya acara adalah pemerintah desa seperti ritual bersih desa dan perayaan 17 Agustus, justru malah hanya mendapat konsumsi sederhana sekali.Â
Sedang beaya sewa pakaian dan tata rias menjadi tanggungjawab sanggar atau padepokan mereka, Â bahkan kadang menjadi tanggungjawab setiap anggota yang akan tampil.Â
Malah sering terjadi kala berangkat dan pulang pun berjalan kaki dengan masih menggunakan kostum penari. Atau setidaknya dengan naik mobil bak terbuka, entah praoto atau pick up.Â
Bahwa, pada akhirnya lambat laun mereka dikenal dan melambungkan prestasi lalu mendapat honor yang menggiurkan adalah sesuatu yang biasa. Tentu saja diharapkan mereka tidak lupa pada sanggar atau padepokan atau komunitas sebelumnya.Â
Pepatah Jawa mengatakan 'aja kaya kacang lali kulite' Â Artinya kita pernah berada di dalam sebuah komunitas yang pernah menghidupi dan tak boleh ditinggalkan serta dilupakan begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H