Dung.... duung... duuuung.... duuung.... suara bende (sejenis gong kecil yang dibunyikan sebagai tanda mengajak warga berkumpul karena ada suatu berita yang harus disampaikan) terdengar ditabuh lembut  menggema di kesunyian tengah malam Desa Cemoro Kandang, sebuah desa perbatasan kota dan kabupaten Malang. Hanya sekitar 5 km dari pusat kota Malang.
Mendengar bende ditabuh, maka warga pun serentak keluar untuk mengetahui kabar duka siapa yang meninggal dunia. Penabuh bende yang merupakan bagian dari petugas kepetengan atau jagabaya yang bertugas menjaga keamanan desa memberitahu bahwa Ibu Harni dari keluarga Bpk. Suwandi, telah meninggal dunia karena usia lanjut.
Tak kurang dari 15 menit banyak warga desa sudah berkumpul di rumah duka. Ibu-ibu PKK dan kelompok pengajian sebagian membantu membersihkan kamar almarhum dan menyiapkan kain kafan serta bersiap-siap memandikan jenazah. Ibu-ibu yang lain memasak air untuk membuat minuman bagi para pelayat.
Tak lebih dari dua jam, jenazah sudah dimandikan dan dibungkus kain kafan serta ditempatkan di ruang tamu. Secara bergantian, para pelayat yang datang secara pribadi maupun kelompok mengucapkan ikut bela sungkawa lalu membaca doa bagi almarhum.
Di depan rumah atau di halaman rumah duka, beberapa kaum pria 'melekan' atau tidak tidur untuk menemani keluarga yang berduka. Di dapur beberapa ibu, sibuk memasak makanan untuk bagi para penggali kubur pagi harinya.
Jam 5.30 pagi, sekitar dua puluh orang pria (kaum muda dan tua) sudah berada di pemakaman desa untuk menggali liang lahat secara bergantian. Hanya membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam saja, liang lahat setinggi satu setengah meter (Jawa: sapengadeg dhuwure) Â dengan panjang dua meter sudah selesai.
Jam tujuh pagi, makanan yang telah disiapkan para ibu dikirim oleh empat pria ke pemakaman untuk sarapan bagi para penggali kubur. Sebelumnya telah dikirim dua ceret kopi, dan tiga bungkus rokok, serta satu dus minuman kemasan.
Semua hantaran ini digunakan untuk membuat masakan untuk para pelayat yang ikut membantu pelaksanaan pemakaman atau ikut serta 'melekan'Â sepanjang lima hari (Jawa:sepasar) berduka cita. Sedang kaum pria, berkumpul di depan rumah untuk bersiap mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Jam delapan pagi, ketika keluarga dekat sudah berkumpul jenazah diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir dengan diantar para pelayat yang kebanyakan kaum pria dan sebagian ibu yang bersedia. Sedang keluarga yang jauh, tidak ditunggu dengan keyakinan jenazah semakin segera dimakamkan semakin baik.
Di pemakaman, proses penguburan berjalan sekitar lima belas menit saja. Setelah jenazah terkubur, pak modin memimpin doa kemudian secara berganti atau bersama tetapi secara pribadi para pengantar berdoa di atas makam bagi almarhumah.
Pemakaman selesai, semua pelayat kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan aktifitas mereka. Beberapa ibu dan kaum wanita yang tidak bekerja, tetap berada di rumah duka untuk membantu memasak atau membuat kue untuk sajian para pelayat dan doa bersama (tahlilan) selama lima malam atau sepasar.Â
Keunikan dalam doa bersama atau tahlilan ini, pada malam ke tiga (hari kedua) dan malam ke tujuh para pendoa atau peserta doa saat pulang selesai tahlilan diberi hantaran atau bawaan berupa nasi dengan lauk pauknya serta kue tradisional seperti apem, bikang, nagasari, dan buah pisang (hijau atau raja). Sedang hari-hari biasa para pendoa hanya diberi sajian kue, rokok, minuman, dan makanan untuk disantap selesai tahlilan.
Itulah gambaran kegotongroyongan masyarakat kita dalam pemakaman salah satu warga di suatu tempat yang menggambarkan kerukunan dan keguyuban yang membawa kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat kita yang majemuk.
Kegotongroyongan dalam mempersiapkan pemakaman tak jauh berbeda, kecuali saat memandikan jenazah dan perawatan jenazah hanya dilakukan oleh keluarga atau komunitas mereka. Perangkat RT dan RW atau dusun biasanya akan menanyakan apakah penggalian kubur dan pemakaman akan dilakukan oleh komunitas sendiri atau oleh warga kampung atau dusun.
Biasanya, untuk menjaga hubungan keakraban dan keeratan serta persaudaraan dalam kekerabatan masyarakat, keluarga berduka tetap meminta warga yang mempersiapkan pemakaman. Tentu saja ini tidak berlaku jika jenazah almarhum dimakamkan di tempat yang jauh atau di luar kota.
Warga dusun, desa, kampung, atau dukuh tak pernah membedakan siapa dan keluarga yang meninggal. Hanya dalam doa atau ibadat pemakaman doa bagi almarhum atau keluarga sebagai penghiburan diserahkan kepada keluarga sesuai dengan kaidah agama yang mereka peluk.
Gotong royong tanda persaudaraan masyarakat Indonesia.
Beberapa orang menganggap kegotongroyongan masyarakat kita sudah luntur jauh sekali. Sebuah pendapat yang kurang tepat. Sebenarnya kalau kita mau meluangkan waktu menyusuri kampung-kampung di wilayah perkotaan sekalipun, kehidupan ini tetap kita rasakan dan mudah ditemui. Kita tidak boleh menutup mata akan keadaan ini hanya karena kehidupan kita berbeda dengan kebanyakan warga masyarakat lainnya.
Kegotongroyongan jangan hanya dilihat saat ada kerjabakti membersihkan kampung atau dusun serta saat perayaan hari kemerdekaan negara kita tercinta Indonesia. Gotong royong bisa dilakukan dalam bentuk karya apa pun seperti membantu tenaga membangun rumah yang biasanya disebut saya atau sambatan.
Membantu tenaga saat akan ada pesta pernikahan dan sunatan yang biasa disebut biada bagi kaum perempuan dan sinoman bagi kaum pria. Membantu tenaga untuk membersihkan jalan desa dan kampung dari sampah atau semak yang menutup pandangan pemakai jalan. Membantu tenaga saat terjadi kebakaran, entah di kampung, desa atau hutan.Â
Gotong royong dengan tenaga dan materi  serta finansial saat ada acara bersih desa. Bahkan gotong royong dengan tenaga dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi penderitaan mereka yang lemah dan tak berdaya seperti yang dilakukan oleh saudara kita seorang Kompasianer, Bambang Setyawan. Salut untuk Beliau dan kawan-kawannya.
Kemajemukan asal-usul daerah dan akar budaya serta profesi warga kelas menengah perkotaan memang sedikit menimbulkan sekat untuk menjalin komunikasi antar mereka sehingga kegotongroyongan menjadi sebuah kegiatan langka dan mustahil bisa dilaksanakan. Boleh jadi bertatap muka atau bertemu dengan tetangga sekali pun bisa jadi hanya setahun sekali.
Pertemanan dan persaudaraan tidak lagi dalam lingkup territorial seperti kampung dan dusun tetapi dalam lingkup komunitas dan pekerjaan. Inilah yang membuat pandangan mereka sedikit kabur dan hanya menjadi bayangan semu bahwa kehidupan nyata kebanyakan masyarakat perkotaan akan kegotongroyongan masyarakat Indonesia yang guyub rukun sebenarnya masih berjalan dengan baik.
Rahayu.... rahayu....
Bisa juga baca ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H