Rabu, 16 Oktober 2019
Hingga jam sepuluh pagi saya masih di rumah lalu ke kebun dan ke vihara sebentar untuk mendokumentasikan ibadat yang yang diadakan setiap hari Rabu mulai jam 11 siang.Â
Kali ini saya tidak mengikuti, selain menggali kearifan lokal dan ajaran kebijaksanaan menurut pandangan orang Jawa. Sekitar tiga puluh menit saya berbincang dengan sesepuh seperti Pak Wi dan Pak Tomo dan tokoh muda Jawa Sanyata, Mas Tumari.
Tampak sisa-sisa kebakaran di tebing barat kaldera Bromo yang melahap rerumputan dan akasia hutan serta cemara dan pinus pada beberapa minggu yang lalu. Sebuah kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi karena kelalaian dan kesembronoan manusia.
Jam dua belas siang, saya masih berada di tengah padang rumput atau savana yang kering kerontang namun masih menunjukkan keindahan bagai permadani kuning yang menghampar di kaldera selatan Bromo.Â
Rasa syukur, tertulis di hati melihat kenyataan bahwa hingga pertengahan Oktober di mana mendung sudah menggelayut namun kaldera selatan masih bebas dari kebakaran.
Sekitar jam 12.30 saya sudah sampai di Ranu Pani yang kini keadaannya betul-betul sangat memprihatinkan. Kerusakan alam akibat ulah manusia  kini sudah nyata dan akan menimbulkan malapetaka jika tidak ditangani secara revolusioner dengan tegas.Â
Selama dua jam, saya berbincang dengan beberapa masyarakat tentang keadaan alam yang memprihatinkan serta perkembangan kehidupan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang meningkat tajam sekitar sepuluh tahun terakhir.
Selama perjalanan yang sebenarnya tak lebih dari lima belas menit saya tempuh sekitar 40 menit untuk mendokumentasikan kebakaran hutan dan lahan yang masih berlangsung di lembah dan belantara lereng utara Gunung Semeru.Â
Kebakaran yang mustahil dihentikan secara manual dan sederhana selain hanya berharap akan turunnya hujan sesegera mungkin. Kerusakan tampak nyata dilihat dari kering dan matinya pepohonan yang menjadi habitat flora dan fauna.Â
Di sebuah pohon yang berjarak  sekitar lima meter tampak seekor tupai sedang bingung dan sedih mungkin kehilangan keluarganya akibat kebakaran. Terasa aneh, tupai yang pemalu kini begitu dekat dengan saya seperti sedang berharap perhatian.
Dugaan saya, elang Jawa ini melarikan diri dari lembah atau hutan lebat yang masih terbakar hebat. Gemrisiknya api membakar dahan dan ranting serta kepulan asap masih terdengar dan tampak jelas.
Bersama relawan Manggala Agni dari Desa Gubuk Klakah, Ngadas, dan Ngadi Sari kami berjuang dengan keras memadamkan api yang melahap rerumputan tebing dan tepi kaldera selatan Bromo. Sebuah kebakaran yang merusak alam dan khidupan flora dan fauna.Â
Selama usaha pemadaman beberapa kali kami menemukan anak-anak burung yang belum dapat terbang jauh karena memang sayapnya belum sempurna.Â
Kami yakin, di antara rerumputan dan perdu serta pinus atau cemara di dinding tebing dan rerumputan serta adasan kering yang terbakar  terdapat sarang burung atau hewan lainnya yang ikut terbakar. Burung-burung yang tertangkap kami lepas kembali di tempat yang jauh dari bahaya kebakaran.Â
Jam 17.45 mentari mulai menuju peristirahatannya. Kaldera Bromo mulai temaram menuju gelapnya malam. Mendung kelabu dan awan putih dengan semburat jingga nampak begitu indah dipandang.Â
Tetapi terbayang dalam benak apakah ini tanda temaramnya alam yang selama ini begitu indah dan menawan akan menuju kerusakan. Tak terbayangkan jika sekitar kaldera Bromo akan dipermodern dengan pembangunan kereta gantung untuk meningkatkan kunjungan wisatawan yang sudah dipikirkan dan direncanakan namun jika tanpa kesiapan sumber daya manusia yang mumpuni tentu semakin merusak alam.Â
Bukan hanya SDM masyarakat setempat tetapi juga para wisatawan yang kurang  atau bahkan tak peduli dengan kebersihan, kesehatan, dan keseimbangan lingkungan harus disiapkan. Sebuah tantangan.
Salam lestari.
Rahayu...rahayu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H