Perjuangan Mati-matian Memadamkan Kebakaran Kaldera Gunung Bromo, Sore Tadi

Perjuangan Memadamkan Kebakaran Kaldera Bromo Sore Tadi

Siang hari ini saya sengaja keliling kaldera Gunung Bromo yang tampak menguning dengan hamparan rumput yang mengering.  Tujuan hanya satu memoto alam dan membuat rekaman video dengan suara angin yang lembut untuk ucapan selamat ulang tahun ke 11 kompasiana. 

Jam 11.30 saya sudah di kaldera yang amat terik karena cuaca memang panas namun angin semilir sedikit menghilangkan gerah. Setelah jeprat-jepret dengan berbagai gaya sepeda motor sebagai obyek, jam 1 siang saya menuju Ranu Pani untuk mencari inspirasi tulisan tentang kondisi di sana serta melihat akibat kebakaran hutan dan lahan yang masih berlangsung. 

Ada 7 inspirasi menarik dan aktual yang masuk. Setelah wawancara dengan beberapa orang dan tokoh yang saya kenal, jam 4 sore saya kembali ke Jemplang untuk makan siang.

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Baru sekecup teh, Mas Hendra sang penjaga warung memberitahu saya kalo dicari Mas Sukik petugas jaga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan memberitahu telah terjadi kebakaran di wilayah kaldera Bromo. Keluar dari warung, terlihat dinding tebing sebelah selatan telah terbakar seluas kurang lebih 4 hektar. Padahal kebakaran baru terjadi sekitar jam 15.15 atau jam 3 seperempat tadi. Naluri pecinta alam ( bukan penikmat alam) langsung bergolak dan menuntun saya bersama tiga teman dari Desa Ngadas menuju lokasi untuk memadamkan api. Pintu menuju Gunung Bromo pun ditutup sementara atas perintah penanggungjawab keamanan dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.  Selain untuk mencegah jadi tontonan jika ada wisatawan masuk juga untuk mencegah lolosnya pembakar yang sempat terdeteksi.

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Jam 4.10 kami bersama sekitar 30an orang dari relawan Manggala Agni yang merupakan komunitas pencegah dan pemadam karhutla sudah sampai di sana dengan perlengkapan seadanya. 

Mulai sekop, cangkul kecil, dan aneka perlengkapan seadanya. Namun demikian, pihak TN BTS juga menyediakan dua mobil patroli yang membawa dua tendon air yang masing-masing berisi kurang lebih 1,5 m3 serta selang pemadam yang panjangnya sekitar 75m serta pompa untuk menambah tekanan semprotan.

Lahan yang luas dengan rumput kering sangatlah memudahkan menjalarnya api ditambah hembusan angina utara yang cukup kencang. Wal hasil, tak sampai dua puluh menit air habis dan harus mengambil ke tendon dekat bukit Tele Tubies yang jaraknya sekitar 6 km.

Dokpri

Sedih dan capeeeeek...dokpri

Dokpri

Dokpri

Selama menunggu air, kami bekerja keras secara manual  dengan berbagai cara, seperti menginjak rumput yang masih terbakar, memukul api dengan sekop, menggali tanah secara cepat  agar apinya tertahan, dan mengumpulkan ranting kering dahan adasan lalu kami ikat menjadi semacam sapu lidi lalu kami pukul-pukulkan ke rerumputan yang terbakar. 

Salah perhitungan sedikit, api bukannya padam malah melompat dan menyambar rerumputan di sekitar kaki yang tentu sangat membahayakan bagi kami. 

Apa pun yang terjadi kami harus berjuang dengan penuh semangat untuk memadamkan api sebelum manjalar lebih jauh bahkan menghabiskan lebi dari tiga perempat wilayah kaldera Bromo seperti tahun 2008 dan 2014 silam.

Perjuangan tanpa lelah selama kurang lebih tiga jam di tengah dinginnya angin gunung senja hari, jam 18.20 api yang ada di kaldera mulai padam. Hanya dua atau empat titik di dinding tebing masih menyala namun sudah terisolasi dengan bebatuan cadas tanpa tanaman sehingga kemungkinan kecil akan menjalar ke bawah. 

Kecuali masih ada onggokan rumput yang terbakar lalu terbawa angin menuju ke hutan di lereng Gunung Semeru atau ke arah utara menuju Gunung Kursi dan Widodaren yang kering pula rerumputannya.

Dokpri

Dokpri

Horeee....api terisolasi di dinding tebing. Dokpri

Eh turun lagi.... Dokpri

Begitu padam, semua petugas dari TN BTS yang dipimpin Pak Tatak dan Pak Subur selaku kordinator relawan Manggala Agni yang berjumlah sekitar 30 orang termasuk penulis langsung berteriak suka cita dengan lantang membahana di kaldera yang sunyi.

Jam 18.30 kami berkumpul untuk berdoa mengucap syukur dengan dipimpin oleh Pak Subur dan Pak Tatak selaku wakil dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Jam 19.00 saya meninggalkan kaldera bersama delapan orang dari Desa Ngadas setelah berjalan mencari sepeda motor kami masing-masing yang tersembunyi di balik rerumputan di tengah gelapnya  malam. Sialnya, sepeda motorku terguling sehingga sulit ditemukan sehingga ditinggal teman-teman selain berdua dengan Gusti Allah yang terus mendampingi menembus jalan setapak berpasir sejauh 8 km di tengah gelapnya malam hanya dengan penerangan bintang gemintang. Bulan masih belum muncul karena sudah hari ke 18 penanggalan  putaran bulan. Jatuh bangun dan tersesat di hamparan Padang rumput selama kurang lebih 40 menit akhirnya tiba di Pos Pantau Jemplang jam 19.35 untuk sekedar selonjorkan kaki.