Ngakak juga saya, walau dalam hati, membaca beberapa postingan di FB tentang demo mahasiswa yang menolak RUU KUHP yang heboh karena pasal-pasal aneh dan kehadiran anggota DPR yang terhormat tapi tak menunjukkan kehormatannya.Â
Saya ngekek karena gambar-gambar yang ditampilkan menunjukkan kekinian mahasiswa yang sulit diduga karena perubahan jaman yang demikian cepat melebihi perputaran bumi.
 Siapa sangka para mahasiswa dengan symbol keagamaan yang kental membawa poster dengan kata dan kalimat yang selama ini dianggap tabu?
Kejahatan seksual dan etika bukan urusan pemerintah?
RUU Pornografi sekitar sepuluh tahun yang lalu membuat geger sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap pemerintah mengurusi ranah pribadi.Â
Banyak yang protes, kecuali mahasiswa dan kaum agamis. Entah bagaimana kelanjutan RUU Pornografi. Kini ketika masalah urusan selangkangan kembali lagi mencuat maka banyak mahasiswa yang protes, mungkin bersamaan munculnya dengan pasal-pasal aneh serta dan RUU KPK yang bikin heboh.Â
Saya tidak akan membahas masalah RUU lain yang ditolak masyarakat dan mahasiswa karena di luar jangkauan. Tetapi tentang selangkangan yang saya perhalus dengan istilah kejahatan seksual dan etika.
Ketika seseorang sedang dilanda nafsu birahi atau cinta eros, kadang akal menjadi berkurang bahkan jatuh ke dalam kekelaman sehingga nafsu lebih berkuasa yang menyebabkan lupa diri. Ini bukan hanya melanda kaum muda yang sedang kasmaran belaka, tetapi kaum tua juga.Â
Entah sudah berkeluarga punya anak dan cucu, entah sudah poligami, entah kaya entah miskin, entah pendiam atau brangasan, entah warga biasa atau tokoh masyarakat, entah awam entah tokoh agama.Â
Berita di media baik yang telah terbukti dengan vonis pengadilan dengan keputusan tetap maupun yang masih hangat dibicarakan menunjukkan ke arah sana.
Lupa diri karena terdorong nafsu dan menekan kesadaran diri seperti orang kalap bermain jaran kepang atau bantengan seakan-akan kesurupan sehingga lupa tempat dan melupakan yang lain. Tak peduli di mana berada dan siapa dirinya. Di sinilah muncul pelanggaran etika dalam kehidupan masyarakat.
Bolehkah masyarakat menghukum?
Mungkin kita pernah mendengar 'istilah kawin tangkap atau kawin hansip' di mana dua insan yang dianggap melakukan tindakan kejahatan seksual tertangkap warga dan aparat kampung atau desa lalu dipaksa menikah.Â
Hingga awal 90-an hal ini sering terjadi dan di beritakan oleh media cetak. Jika salah satu yang tertangkap menolak kawin dengan pasangan selingkuhnya, biasanya akan dihukum denda seperti, membeli batu atau semen untuk perbaikan sarana desa.Â
Ada pula yang disuruh kerja sosial seperti mengecat jembatan desa. Ternyata hal ini pernah digugat warga yang terhukum dan dibawa ke rana hukum dengan hasil yang mengejutkan warga dan aparat kampung atau desa yang menghukum ganti dihukum. Sejak saat itu kejadian semacam ini jarang terjadi.Â
Sebaliknya kisah perselingkuhan dan kehidupan sek bebas menjadi berita yang biasa selain hangat-hangat kotoran ayam lalu terlupakan oleh jaman.Â
Masyarakat hanya bisa melaporkan pada pihak berwajib dan selanjutnya akan diselesaikan secara kekeluargaan bersama masing-masing keluarga yang tertangkap.
Perkembangan jaman yang mengarah pada kehidupan pribadi dalam arti privaci seseorang lebih diutamakan, kontrol sosial dari masyarakat semakin luntur selain hanya bisa mencegah dengan pesan-pesan lesan yang sekedar himbauan.Â
Masalahnya, masyarakat sekarang semakin pandai dan kritis maka tak mau menelan mentah-mentah pesan dan justru sering menggugat integritas kepribadian tokoh masyarakat dan agama yang menjadi penghimbau. Orang Jawa bilang 'gajah diblangkoni: isa kotbah ora isa nglakoni' Sesuatu yang aneh. Â Wajar masyarakat menggugat.
Berita atau pun kasak-kusuk seperti ini sepertinya sejak dulu ada, mulai Adam & Hawa, Sodom & Gomorah, Cleopatra, Ken Arok dan Ken Dedes, Arjuno dan Banowati, Pangeran Charles dan wanita yang jadi istrinya sekarang. Â Atau kehidupan artis dan selebritis di negeri kita. Siapa yang berani membantah?Â
Soal tempat di mana perselingkuhan atau kejahatan seksual dan etika dilakukan bisa di mana pun. Mulai dari ruang kerja hingga rumah sendiri. Di kebun dan sawah. Di hutan atau gunung. Di tengah semak atau di rerumputan. Di kolong jembatan atau pinggir pantai. Di hotel berbintang atau di kuburan. Terserah kesepakatan.
Puluhan kali penulis mengetahui dan menangkap dengan mata sendiri plus jepret dengan kamera yang tentu saja disimpan dan bukan untuk memeras atau mengancam apalagi memposting selain menasehati. Â Lokasi yang sering dijadikan arena mesum ini sebenarnya merupakan daerah yang sungguh disakralkan oleh masyarakat seperti wilayah lereng dan puncak Semeru, kaldera Bromo, dan satu dua kali di alas Purwo, juga pantai selatan tempat di mana sering saya kunjungi.
Pemasangan banner dengan pesan himbauan dan larangan sudah dilakukan di mana pun. Tetapi sekali lagi ketika nafsu menguasai dan akal berkurang maka tindakan nyata harus dilakukan.
Suatu saat ditemukan dua insan remaja mencurigakan dengan hampir lepas pakaian semua di pinggir kaldera dengan rerumputan ilalang di atas dua meter saat senja hari.Â
Tanpa mempermalukan mereka, penulis langsung mendekat searah dengan hembusan angin lalu menyalakan rokok klembak dengan aroma kemenyan yang menyengat.Â
Mencium bau kemenyan tanpa melihat sosok orang membuat mereka ketakutan. Apalagi ketika akan pergi juga saya lemparkan sebuah jeruk ke depan mereka yang semakin ngibrit dengan sepeda motornya.
Apa yang dapat dilakukan masyarakat sekarang ini  dengan kejahatan seksual dan etika?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H