Tanggapan atas tulisan: Â
Maulida Husnia ZÂ :Â
Entah berapa kali saya diajak berbincang tentang kedudukan wanita atau persamaan gender oleh anggota LSM pemerhati masalah wanita dari manca negara, seperti Thailand, Belanda, Jerman, dan Amerika.Â
Namun sebelum menjelaskan sesuai dengan pemahaman saya, selalu saya tanyakan bagaimana pendapat mereka tentang wanita Indonesia.Â
Sedikit banyak mereka berpendapat, hampir semua negara berkembang kaum wanita dianggap sebagai warga kelas dua. Sedangkan kaum pria adalah penguasa mutlak dalam dunia yang menganut patrialistis. Sehingga pandangan bahwa wanita ada di bawah pria memang nyata dan bahwa pria Indonesia egois.Â
Tahun pertama hingga tahun ketiga tulisan saya selain tentang budaya masyarakat Suku Tengger dan kehidupan sosial kaum urban saya juga menyoroti tentang kehidupan wanita.Â
Beberapa K'ner wanita yang sering menanggapi tulisan tentang ini adalah Ester, Yusticia Arif, Indri Hapsari, Aridha Prasetya, dan beberapa K'ner pria.Â
Bahkan kala itu ada yang menyebut saya sebagai penulis tentang wanita. Beberapa tulisan saya yang musnah tentang wanita misalnya Gejolak Wanita Suku Tengger, Kehidupan Sinden, Suka Duka Penyanyi Malam, Wanita dalam Dunia Pewayangan, Wanita Jaipur (Pink City).Â
Ketika ada perhelatan ICD 2 di Malang saya pun menitipkan beberapa foto tentang ketegaran wanita di stand Ladiesiana dan RTC. Semua ini saya lakukan karena kecintaan saya akan wanita, sosok mulia pendamping pria. Bukan wanita di belakang pria.
Jika ada LSM dan pengamat yang mengidentifikasikan bahwa wanita di bawah kekuasaan pria karena memandangnya berdasarkan ilmu-ilmu sosial barat yang belum tentu sesuai dengan sosial budaya di sini. Dan tentu saja tidak adil jika hanya memandang dari satu sisi.
Bahwa wanita tradisional (tidak selalu orang desa dan pinggiran, tetapi lebih berarti pemikirannya) Indonesia, secara nyata hanya hidup dalam kungkungan 'tiga ur' yakni kasur (teman tidur), dapur (memasak), dan sumur (mencuci) adalah pembagian peran sesuai dengan kodrat. Bukan berarti pria Indonesia tidak pantas atau kurang selayaknya melakukan hal tersebut.
Lebih dari 25 tahun saya mengamati kehidupan keluarga tradisional di pedalaman dan pantai selatan Pulau Jawa mulai dari Banyuwangi hingga Kebumen.Â
Ternyata pembagian peran sesuai dengan kodrat tidak memposisikan kaum pria menjadi penguasa dan egois. Dalam hal-hal tertentu ada ungkapan seakan pria lebih dihormati adalah kenyataan di mana pun.Â
Sama dengan ungkapan 'bantu ibumu memasak' apakah ini menunjukkan bahwa wanita sebagai penguasa dapur dan pandai memasak. Kenyataan bahwa banyak pula kaum wanita juga tak lebih pandai dan terampil dalam memasak sekali pun dibesarkan dalam kehidupan tradisional.
Masih banyak hal yang menunjukkan bahwa pria Indonesia tidaklah egois dan wanita Indonesia hidup dalam kungkungan budaya patrialistis yang mengikat kebebasan seperti pendapat sebagian orang yang mungkin hanya hidup dalam dunianya sendiri.
Wanita bagian dari pria. Dan pria juga bagian dari wanita. Tak ada yang lebih unggul dan berkuasa. Saling mengisi kehidupan. Wanita yang menghendaki kebebasan dan merasa dirinya di bawah kaum pria akan merasakan penyesalan seperti yang terungkap dalam lagu I've been to paradise but never been to me.
Baca juga :
https://www.kompasiana.com/aremangadas/550dff4e8133118b2cbc60af/pria-indonesia-di-mata-wanita-bule
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H