Jika ada LSM dan pengamat yang mengidentifikasikan bahwa wanita di bawah kekuasaan pria karena memandangnya berdasarkan ilmu-ilmu sosial barat yang belum tentu sesuai dengan sosial budaya di sini. Dan tentu saja tidak adil jika hanya memandang dari satu sisi.
Bahwa wanita tradisional (tidak selalu orang desa dan pinggiran, tetapi lebih berarti pemikirannya) Indonesia, secara nyata hanya hidup dalam kungkungan 'tiga ur' yakni kasur (teman tidur), dapur (memasak), dan sumur (mencuci) adalah pembagian peran sesuai dengan kodrat. Bukan berarti pria Indonesia tidak pantas atau kurang selayaknya melakukan hal tersebut.
Lebih dari 25 tahun saya mengamati kehidupan keluarga tradisional di pedalaman dan pantai selatan Pulau Jawa mulai dari Banyuwangi hingga Kebumen.Â
Ternyata pembagian peran sesuai dengan kodrat tidak memposisikan kaum pria menjadi penguasa dan egois. Dalam hal-hal tertentu ada ungkapan seakan pria lebih dihormati adalah kenyataan di mana pun.Â
Sama dengan ungkapan 'bantu ibumu memasak' apakah ini menunjukkan bahwa wanita sebagai penguasa dapur dan pandai memasak. Kenyataan bahwa banyak pula kaum wanita juga tak lebih pandai dan terampil dalam memasak sekali pun dibesarkan dalam kehidupan tradisional.
Masih banyak hal yang menunjukkan bahwa pria Indonesia tidaklah egois dan wanita Indonesia hidup dalam kungkungan budaya patrialistis yang mengikat kebebasan seperti pendapat sebagian orang yang mungkin hanya hidup dalam dunianya sendiri.
Wanita bagian dari pria. Dan pria juga bagian dari wanita. Tak ada yang lebih unggul dan berkuasa. Saling mengisi kehidupan. Wanita yang menghendaki kebebasan dan merasa dirinya di bawah kaum pria akan merasakan penyesalan seperti yang terungkap dalam lagu I've been to paradise but never been to me.
Baca juga :
https://www.kompasiana.com/aremangadas/550dff4e8133118b2cbc60af/pria-indonesia-di-mata-wanita-bule