Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hitam Putih Pantai Parangtritis, Yogyakarta

7 September 2019   14:25 Diperbarui: 8 September 2019   19:19 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turis, ABG, dan sampah di Parangtritis, Jogja. Dokpri

Terik mentari penghujung musim kemarau begitu menyengat tajam membakar kulit. Mata mengerling menunda kilau samudra yang membias ke retina. Tak ada semilir angin yang membawa kesejukan selain debu-debu pasir yang menerpa wajah kuyuh lelah dalam perjalanan.

Ingin merebah sebentar di bawah pandan laut tepi samudra namun si empunya bilang 'Maaf Mas, tempat ini hanya untuk pembeli...'

Sebentar.... Dokpri
Sebentar.... Dokpri
Melangkahlah kaki di belakang kereta kuda sambil menghirup panasnya cuaca.Seorang pemilik kuda tiba-tiba menghentikan kudanya yang ditunggangi wanita cantik.
Senyum sedikit padaku sambil merapikan pita rambutnya dan berkata 'Tunggu sebentar...'

Aku pun balas tersenyum lalu jepret dan kutinggal pergi.

Di tepi pantai beberapa cewek cantik berseru 'Poto kita-kita ini Om....'

Om? Astaga apa saya kelihatan darah indonya walau cucu seorang nyai?

Ya sudahlah.... Lalu jepret! Pergi lagi... Sungguh sadis sikapku kata seorang Kompasianer wanita di WAnya. Peduli amat.

Jepret. Dokpri
Jepret. Dokpri

Kaki kembali melangkah membelakangi mentari. Mencari suasana baru yang menyegarkan. Jauh dari pedagang asongan yang menawarkan degan kelapa ijo seharga nasi goreng di kafe.

Panas memang menyengat membuat cemberut wajah temanku yang manis apalagi saat minta es degan tidak kuberi. Pelit ya....

Panas dan gerah. Dokpri
Panas dan gerah. Dokpri
Tiba-tiba saja pandangan menyilaukan terbentang di depan mata. Pandangan seperti di Kuta pada malam hari atau di Pattaya kala pagi.Tebaran pasir hitam, semak, dan sampah jadi musnah selain indahnya ciptaanNya yang bernama wanita.

Gubug-gubug lapak reot pun jadi kabur tertutup beningnya rebahan dua manusia.

Beda dunia. Dokpri
Beda dunia. Dokpri
Hayooo...kata teman wanitaku. Mungkin karena cemburu. Ah!Masih cantik kamu kok..., kataku sambil mengedipkan mata padanya.

Ia pun mencubit lenganku dengan genit. Kok tak berkedip? Katanya dengan cemberut.

Jangan cemburu dulu.....coba perhatikan dengan baik. Parangtritis sungguh terkenal seantero dunia walau tak seindah Kuta. Tapi karena mistisnya. Sayang sekali kalau pantai ini kotor dengan tebaran sampah yang tampak di belakang ikan duyung eh turis wanita ini. Tambah lagi polusi bau kotoran dan kencing kuda.

Oh.... Kamu mau nulis Protes Pelanggan di Kompasiana? Kata teman wanitaku.

Iya....aku kan sering ajak murid-muridku ke sini. 

Lihat juga para ABG yang naik motor semaunya dengan suara bising knalpot sungguh mengganggu suasana.

Andai Parangtritis terawat tentu lebih menarik lagi bagi wisatawan mana pun. Bukan hanya sepertiku yang cuma pingin ketemu Nyai Roro Kidul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun