Terik mentari penghujung musim kemarau begitu menyengat tajam membakar kulit. Mata mengerling menunda kilau samudra yang membias ke retina. Tak ada semilir angin yang membawa kesejukan selain debu-debu pasir yang menerpa wajah kuyuh lelah dalam perjalanan.
Ingin merebah sebentar di bawah pandan laut tepi samudra namun si empunya bilang 'Maaf Mas, tempat ini hanya untuk pembeli...'
Senyum sedikit padaku sambil merapikan pita rambutnya dan berkata 'Tunggu sebentar...'
Aku pun balas tersenyum lalu jepret dan kutinggal pergi.
Di tepi pantai beberapa cewek cantik berseru 'Poto kita-kita ini Om....'
Om? Astaga apa saya kelihatan darah indonya walau cucu seorang nyai?
Ya sudahlah.... Lalu jepret! Pergi lagi... Sungguh sadis sikapku kata seorang Kompasianer wanita di WAnya. Peduli amat.
Kaki kembali melangkah membelakangi mentari. Mencari suasana baru yang menyegarkan. Jauh dari pedagang asongan yang menawarkan degan kelapa ijo seharga nasi goreng di kafe.
Panas memang menyengat membuat cemberut wajah temanku yang manis apalagi saat minta es degan tidak kuberi. Pelit ya....
Tiba-tiba saja pandangan menyilaukan terbentang di depan mata. Pandangan seperti di Kuta pada malam hari atau di Pattaya kala pagi.Tebaran pasir hitam, semak, dan sampah jadi musnah selain indahnya ciptaanNya yang bernama wanita.