Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Dunia dalam Satu Jiwa

27 Agustus 2019   09:24 Diperbarui: 27 Agustus 2019   10:00 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terpikirkan oleh dua orang insan ini, sebut saja namanya Suyanto dan Susanto. Hidup dalam dunia yang tak pernah dikehendaki oleh kebanyakan orang. Terlahir sebagai seorang bayi mungil nan lucu dan menggemaskan untuk ditimang dan diharapkan kelak menjadi seseorang yang kelak hidup penuh kebahagiaan dan sejahtera seperti yang diharapkan setiap orang tua dan siapa pun.

Masa kecil yang ceria kala bermain bersama teman sebaya di kampung dan dusunnya serta sekolah kini menjadi kenangan indah yang tak pernah ia nikmati lagi sejak ia menginjak remaja.

Sejak menginjak remaja atau kala duduk di SMP, mereka berdua merasakan bahwa apa yang tampak nyata pada diri mereka bukanlah yang sebenarnya.  

Sebagai remaja pria yang beranjak menjadi pemuda seperti kebanyakan lainnya mulai tertarik pada lawan jenis  Suyanto dan Susanti merasa jiwa mereka bukanlah seorang pria sebenarnya. Hati mulai gelisah. Ditambah lagi cara bicara, jalan, dan bahasa tubuh mereka mulai gemulai. 

Jadi bahan guyonan, cemoohan, dan ledekan pun mulai dirasakan dari orang-orang di sekitarnya. Semua harus mereka rasakan sendiri apalagi melihat orangtua yang pada awalnya sulit menerima kenyataan seperti ini.

Suyanto dan Susanto memang bukan bersaudara, kerabat, atau teman desa, kampung, dan sekolah. Perjalanan hiduplah yang mempertemukan mereka dalam sebuah komunitas senasib dengan mereka.

Dokpri
Dokpri
Suyanto dan Susanto yang merasa jiwanya adalah seorang perempuan berganti nama menjadi Suyanti dan Susanti yang mengembara dari satu kota ke kota lain sambil mencari nafkah demi kesejahteraan hidup atau setidaknya mempertahankan hidup asal merasa bahagia.

Tak beda dengan para pemuda atau pemudi yang menurut kebanyakan orang merupakan manusia-manusia normal demikian juga Suyanto dan Susanto dalam pengembaraan hidupnya menemukan nasib yang tak selalu membawa kesejahteraan. 

Pekerjaan apa pun pernah mereka lakukan selain bekerja kasar seperti kaum Adam. Hidup ternyata harus berkompetisi mengikuti roda jaman yang berputar cepat melebihi putaran bumi.

Ketika perjalanan waktu menuju senja dan temaram mulai dirasakan kala semua ingin beristirahat menikmati malam dengan rembulan yang tersenyum bersama bintang gemintang, mereka berdua tetap harus mengais rejeki.
Pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang mereka punyai terasa tak berguna lagi.

Hidup harus terus berjalanc sesuai dengan kehendakNya.  Berhenti adalah tindakan melawan takdir. Senja sudah datang dengan mengajak siapa pun merasakan kegembiraan yang membentang. 

Suyanti dan Susanti juga tak sudi larut dalam takdir yang menentukan lain. Mereka juga terus mencari kebahagiaan dengan menari. Menari sepanjang waktu mengikuti kehendak hati melangkahkan kaki. Tak peduli gerak tubuh tak sesuai irama. 

Tak peduli mereka tak dipedulikan. Seratus rupiah pun mereka terima dengan kerendahan  hati dari mereka yang dengan tulus membagikan sebagian rejekinya. 

Mereka pun tak kecewa bila ada yang cuma tersenyum tanpa memberi sekeping receh setelah mereka berjoged.  Kekecewaan hanya menambah penderitaan yang menyelimuti diri. Maka menarilah mereka sampai kehidupan ini harus berakhir....

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun