Kaget juga ketika saya membuka instagram lalu menemukan sebuah tayang video iklan yang menggambarkan toko yang sepi dan di depan toko tersebut tampak seorang dukun atau mungkin paranormal dengan pakaian adat Jawa dan segala perangkatnya serta membaca mantra lalu menyemburkan air dari mulutnya ke depan toko tersebut.Â
Di akhir tayangan tampak seseorang kaget karena sang dukun atau paranormal tersebut meminta uang jasa sebesar 250.000.000! Ya dua ratus lima puluh juta!!! Luar biasa....!!!! Apanya yang luar biasa?
Benarkah pada masa kini ada seorang pengusaha, politikus, atau aparat setidaknya masyarakat biasa yang masih menggunakan jasa mereka? Dan benarkah ada yang meminta imbalan atau jasa yang sedemikian besar?
Sejak awal menulis di Kompasiana dan FB hingga sekarang tulisan saya memang lebih banyak tentang hal-hal yang bernuansa budaya tradisional Jawa. Pembaca pun menganggap tulisan saya sebagai hal yang berbau klenik dan lebih lagi dianggap dukun. Dan secara transparan pada tulisan saya mengakui sebagai seorang dukun dan bukan paranormal sekali pun tidak praktek.Â
Sindiran, kritikan, dan cemoohan lewat komen adalah hal yang biasa. Sayang sekali banyak komen dan tulisan saya yang hilang sejak 2014 sehingga tak dapat tangkap layar. Â Hal yang aneh, secara eksplisit ternyata ada juga pembaca yang komen sepertinya keder dan mungkin takut kusantet atau yang cewek takut kupelet.
Jangankan di K dan FB, bahkan di gereja, tempat kerja, dan kampung pun saya dianggap dukun. Â Apalagi saat bekerja, ke gereja, atau di rumah serta jalan-jalan sering memakai sarung dan udeng. Ritual-ritual juga pernah saya lakukan termasuk secara tak langsung pada saat gelaran ICD II di Taman Kridha Budaya Malang, 2018 silam.
Padahal sebenarnya saya salah satu pemerhati dan pelestari budaya Jawa yang penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal untuk lebih bersifat bijak dalam kehidupan dan tidak hanya mengunggulkan hal yang bersifat duniawi. Sebagai pelestari tentunya saya juga harus mempraktikkan apa yang saya ketahui dan pahami.Â
Dan untuk mengetahui dan memahami hal tersebut saya banyak berkunjung dan mencari pengetahuan ke wilayah pedalaman selatan Pulau Jawa mulai dari Banyuwangi hingga Purwokerto. Bukankan orang Jawa mengajarkan "ngilmu iku kelakon kanti laku" Â Belajar akan tercapai dengan berbuat. Bukan teoritis belaka! Selain itu, penulis juga berusaha memahami dengan membaca pandangan seorang ahli jiwa Carl Gustav Jung.
Apakah ilmu tersebut masih relevan dan berguna untuk kehidupan masa kini dimana teknologi informasi demikian membumi? Budaya apa pun dan dimana pun tentu terjadi dan tercipta demi kesejahteraan dan kemakmuran setiap bangsa sesuai dengan pandangan hidup mereka. Demikian juga dengan budaya tradisional Jawa tentu akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Jawa dan mereka yang menjiwainya yang belum tentu dari Suku Jawa.
0 0 0 0 0
Apa hubungannya dengan iklan di atas?
Dalam budaya Jawa dipahami hari baik, kurang baik, dan tidak baik sebagai naga dina untuk menuntun melakukan suatu pekerjaan. Hari kurang baik dan tidak baik bukan berarti jelek lalu harus ditinggalkan. Memang sebaiknya dihindari namun jika tidak bisa dihindari maka ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan.Â
Di sinilah permasalahan timbul, dimana syarat tersebut kadang terlalu berat bahkan tidak mungkin dipenuhi seseorang yang merasa terhambat oleh naga dina tersebut. Apakah harus dilanggar atau diterjang saja dengan konskuensi kelak akan menerima kenyataan pait? Sebenarnya hal ini bisa dinetralisir dengan laku atau tindakan tertentu, misalnya menghindari mengkonsumsi makanan tertentu atau berpuasa tengah hari atau dengan mantra atau doa tertentu oleh sesepuh yang dimintai nasehat.Â
Celah inilah yang sering disalahgunakan oleh paranormal walau tidak semua, untuk mencari keuntungan pribadi dengan memeras dan melakukan pelecehan. Dan akhirnya muncul istilah dukun palsu, dukun cabul, atau paranormal gak normal! Sehingga sebutan dukun sebagai sesuatu yang jelek dan buruk. Tak bisa dipungkiri. Dan menjadi stigma yang sungguh menyakitkan bagi mereka yang jujur.
Iklan di atas  merupakan imbas dari pandangan masyarakat sendiri atas pandangan tentang dukun akibat mereka ditipu dukun palsu dan tentu saja akibat perkembangan jaman. Di sini peran media juga sangat berperan.Â
Lihat saja tayangan-tayangan di telivisi, orang yang memakai lurik, udeng, dan blangkon selalu dikonotasikan dengan dukun atau paranormal. Payahnya dukun dan paranormal palsu dan penipu yang suka memeras.
Padahal, sebenarnya dukun adalah seorang sesepuh atau orang yang dituakan karena pengetahuannya dan sikapnya yang bijak untuk memberi wejangan, tuntunan, dan arahan untuk melakukan suatu tindakan tanpa berharap apalagi minta suatu imbalan.
Apakah masih ada orang atau dukun atau sesepuh semacam ini? Â Â
Di kota yang demikian duniawi kehidupannya, mungkin sulit ditemui sekalipun masih ada. Boleh jadi mereka tertutup oleh hiruk pikuk dan gemerlapnya metropolitan. Tetapi harus diakui bahwa masih ada saja orang kota yang ingin berhasil dalam bisnis dan karir masih tetap menggunakan jasa para dukun.Â
Permasalahannya mereka tidak bisa membedakan mana dukun mana paranormal apalagi yang palsu. Terpenting mereka ingin sukses, sekali pun harus membayar atau memberi mahar sejumlah uang yang besar dan syarat yang aneh-aneh. Tak salah jika ada dukun dan paranormal (palsu) yang memasang iklan di media cetak, elektronik, dan media sosial.
Pengalaman Kompasianer
Tahun 2012, sebenarnya ada beberapa Kompasianer yang pernah ajak penulis berkunjung ke wilayah timur Malang dan masyarakat Suku Tengger untuk melihat kehidupan semacam ini. Rupanya setelah sukses tak lagi menampakkan hidungnya apalagi saling sapa lewat SMS kala itu.
Merupakan hal yang kurang bijak dan tak etis untuk menunjukkan pejabat, politikus, artis, atau pengusaha  mana saja yang pernah minta bantuan sesepuh atau dukun untuk berhasil dalam karir atau ekonomi.
April 2019 kemarin, kami mengundang tiga Kompasianer ke tempat yang sama dengan tujuan menunjukkan bahwa kehidupan dan ritual semacam itu masih ada. Dan yang meminta pun bukan hanya pedalaman, orang desa, dan pinggiran tetapi juga orang kota. Membayar? Tidak! Â Meminta balas jasa? Tidak! Apakah yang minta tolong memberi gratifikasi. Ya! Berapa? Mungkin cukup untuk makan tiga orang desa. Tak pernah lebih.
Dua ratus lima puluh juta seperti iklan di atas? Wah sungguh pelecehan terhadap budaya dan adat Jawa yang penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H