Banyak yang kita bisa lihat dan  rasakan fenomena mudik saat lebaran di kampung dan desa.
Tempat yang biasanya sunyi, sepi, dan lengang kini menjadi ramai. Para tani dan buruh yang biasanya ke sawah dan ladang kini harus berada di rumah untuk merayakan sebuah kemenangan menaklukkan nafsu duniawi. Terlepas ada yang hanya bisa menjalankan puasa kendangan yang dalam istilah budaya Jawa hanya dilakukan saat hari-hari pembukaan atau penutupan saja. Tentu saja ini dilakukan dengan alasan berbeda oleh setiap orang.
Halaman rumah atau jalanan sempit perkampungan atau  pedukuhan kini terpakir paling tidak sebuah mobil bernomor luar kota dan beberapa motor baru.
Suasana dalam rumah menjadi ramai penuh senyum indah dan tawa ceria dengan cerita dan kisah pengalaman masing-masing bisa menaklukkan tanah rantau atau kota besar dan metropolitan.
Di halaman rumah juga riuh celoteh anak-anak dengan pakaian baru yang ramai bermain game di hape masing yang tak kalah canggih milik orangtuanya.
Semua ceria. Tak tampak sedikit pun sebuah kesedihan di wajah-wajah kaum urban yang kini kembali ke desa untuk bersilaturahmi dengan kerabat yang sekian lama terpisah karena sebuah keadaan.
Satu, dua, atau tiga hari keceriaan itu terpancar hampir  di setiap sudut desa. Saat harus kembali ke kota atau ke rantau semua kembali dalam sepinya alam. Senyum ceria masih tersungging dengan sedikit tetesan air mata perpisahan yang berharap bisa berkumpul kembali tahun depan. Semua tetap ceria.  Â
Hanya satu kegundahan yang tersirat di wajah seorang Emak yang akan kembali dalam kesendirian atau ditemani cucu-cucu yang dititipkan  ayah bundanya karena himpitan ekonomi hidup di kota yang keras dan cenderung kejam.
Di sudut gerbong kereta api yang sesak, seorang gadis duduk dekat pintu dengan wajah sedikit galau. Terbayang di pelupuknya hari-hari kerja yang padat di sebuah toko peracangan di sebuah pasar.Â
Honornya yang pas-pasan hanya cukup untuk sewa kamar, ongkos transport, dan sisa sedikit untuk beli bedak atau kebutuhan wanita. Kadang ia harus menyisihkan uang makan untuk membayar cicilan hape. Uang THR yang selalu ia harap dan dapat telah disiapkan untuk oleh-oleh orangtua dan keponakan serta baju baru untuk dirinya sendiri.
Jam kerja yang demikian panjang mempersempit ia bisa bergaul sebagai seorang gadis muda yang ingin seorang kekasih sebagai teman hidup. Hanya seorang tukang serabutan di toko tempatnya bekerja pernah menembaknya mengajak menikah. Tentu saja ia menolak karena di desa ia bercerita bekerja sebagai seorang karyawati kantoran.
Di sudut sebuah SPBU, seorang pemuda sedang melepas lelah setelah menempuh sekian puluh kilometer menuju kota rantau.
Pekerjaan sebagai seorang juru parkir di mall tak memberinya masa depan yang cerah.  Terbayang keinginan sekedar  menjadi seorang satpam di sebuah mall seperti yang dikisahkan teman desanya hanya sebuah bayangan semu.
Sebagai lelaki ia menjadi kecil kala ingin mengajak Vivi seorang kasir di mall. Bahkan keinginan melamar Ngatmini tetangga di desa yang kini juga dilirik Pardi pengepul padi dan  tebu.
Titik-titik tetesan air mata memang mempunyai banyak  arti. Sedih karena harus berpisah dengan orangtua yang tak mau ikut ke tanah rantau. Sedih karena terpaksa menitipkan anak-anaknya tercinta ke neneknya. Gundah dan sedih karena harus kembali ke kota yang tak ramah namun malu kembali ke desa.
Di tepian sebuah kali kecil  sungai seorang Emak bersama cucunya tampak begitu gembira kala mencuci dan mandi. Suara desiran angin lembut, gesekan batang bambu, kicauan burung,  dan gemerciknya air adalah nyanyian damai kehidupan desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H